| 1 komentar ]

Jejak Sejarah Kolonial yang Terlupakan Oleh Basilius Triharyanto

Judul: Persekutuan Aneh: Pemukim Cina, Wanita Peranakan, dan Belanda di Batavia VOC
Penulis: Leonard Blusse
Penerbit: LKIS, Yogyakarta, Agustus 2004
Tebal: xx + 532 halaman

Sejarah bukan hanya milik orang-orang besar, para pahlawan dan penguasa. Sejarah juga milik orang-orang kecil, yang kalah dan tertindas dari hegemoni kolonial. Sejarah juga tidak ditulis dari apa yang dibuat, dikatakan, dan disimpan oleh para penguasa. Sejarah juga bisa lahir dari apa yang dilakukan oleh rakyat jelata dan tertindas. Dan penulis buku ini memilih orang-orang tertindas sebagai pelaku sejarah karena ia ingin menulis sejarah kemanusiaan yang terkorbankan oleh kekuasaan kolonial.

Leonard Blusse mencari dan menggunakan catatan harian serdadu VOC, buku diary seorang perempuan yang termarjinalkan, arsip-arsip gereja yang jarang disentuh oleh sejarawan. Ia juga mengumpulkan aneka macam mata uang yang digunakan transaksi dagang. Sumber-sumber itu tak lazim digunakan untuk penelitian sejarah konvensional. Tetapi, sumber data yang tidak lazim telah berharga dan punya peran besar dalam membunyikan fakta peristiwa sejarah masyarakat kolonial secara kritis dan komprehensif.

Leonard Blusse adalah sejarawan yang punya minat besar terhadap orang-orang atau kelompok tertentu di tanah jajahan. Pada tahun 1975 ia menulis tentang pengaruh dunia Barat terhadap komunitas etnis China di tanah Jawa, Western Impact on Chinese Communities in Western Java at the beginning of the 17 Century. Pada tahun 1979 memublikasikan hasil penelitian terhadap kelompok etnis China dalam Leyden Studies in Sinology (1981) Impo, Chinese merchant in Pattani. Publikasi lainnya The VOC as sorcerer’s apprentice: stereotypes and social engineering on the China coast.

Uniknya, ia menganggap kumpulan esai penelitian di buku ini merupakan hasil tamasya hobi dari medan studinya. Sekitar tahun 1973 hingga tahun 1975 ia melakukan perjalanan penelitian di wilayah tanah jajahan di Batavia, atau dikenal dengan Hindia Timur. Ia sering mengunjungi Batavia dan rajin mencari dan mengumpulkan bahan-bahan penelitian. Buku ini menunjukkan ia seorang peneliti ulet dan liar mencari tempat penyimpanan harta informasi yang tersembunyi atau belum pernah dijamah peneliti lainnya.

Di sinilah kelebihan seorang Leonard Blusse dalam melihat arsip-arsip yang tidak dipublikasikan oleh VOC dan organisasi keagamaan, seperti gereja. Gereja adalah lembaga agama yang dikendalikan dan dikontrol oleh Pemerintah Hindia Belanda. Maka, gereja merupakan lembaga penting dalam kehidupan sosial politik era kolonial. Ia meyakini catatan-catatan yang tersimpan di arsip-arsip gereja, buku permandian/surat pembaptisan, dan khotbah-khotbah pastor adalah harta karun yang besar perannya dalam menguraikan sejarah relasi sosial berbagai kelompok di Hindia Belanda.

Menurut dia sumber gereja belum dikaji dengan baik oleh sejarawan ancien regime di Asia Tenggara. Tampak FW Stapel, penyunting naskah Pieter van Dam mengenai sejarah Kompeni Hindia Belanda, yang ditulis paroh kedua abad ke-17, dengan sengaja meninggalkan bahan-bahan tentang masalah-masalah di sekitar gereja. Saatnya bagi sejarawan masyarakat kolonial memanfaatkan arsip-arsip gereja untuk tujuan yang tidak hanya berorientasi pada misi semata (hal 20).

KEUNIKAN buku ini adalah mengungkap peristiwa rezim kolonialis Belanda dari sisi manusiawi. Esai-esainya secara kritis dan tajam mengulas korban-korban perempuan dan anak-anak oleh sistem politik kolonial Hindia Belanda. Perbudakan perempuan China, penindasan kaum perempuan Batavia, dan posisi rendah kaum perempuan Belanda adalah sisi gelap VOC yang kurang tergarap dan tersentuh dalam kajian sejarah kolonial.

Dalam sistem politik kolonial, perempuan di Hindia Belanda, baik yang didatangkan dari China, Eropa, tak terkecuali kaum perempuan bumi putra, memerankan pendamping hidup untuk kaum lelaki kompeni Hindia Belanda. Status istri melekat ketika kompeni tinggal di tanah jajahan. Bila para kompeni selesai bekerja dan kembali ke negara Belanda, istri dan anak tidak turut diboyong ke Belanda, melainkan ditinggal di Hindia Belanda dan sang kompeni melupakan selamanya, ia tak akan kembali ke tanah jajahan. Akibatnya, para istri menjadi janda dan anak-anak tak punya ayah. Jumlah mereka ribuan. Tidak sedikit dari mereka mati kelaparan dan serangan penyakit. Hidup mereka sangat sengsara dan menderita.

Buku ini mengurai panjang tentang posisi rendah perempuan di Batavia. Cornelia sebagai sosok prototipe di kalangan janda Batavia. Ia berani angkat bicara untuk tidak tunduk pada hegemoni kolonial. Perlawanannya dimulai dari diskriminasi dan ketidakadilan dalam rumah tangganya sendiri. Aksi radikal menentang John Bitter, suaminya, sekaligus menjabat anggota Mahkamah Pengadilan di Hindia Belanda. memberikan pelajaran kaum perempuan untuk tidak tunduk terhadap sistem hegemoni kolonial.

Aksi keras perjuangan Cornelia van Nijenroode hingga di tingkat pengadilan merupakan aksi perlawanan tirani domestik dan ketidakberdayaan perempuan Hindia Belanda terhadap sistem politik yang dibangun oleh Pemerintah Hindia Belanda. Hukum Belanda abad ke-17 berbicara kedudukan yuridis wanita yang bersuami praktis tidak ada: de vrouw is onbekwaam. Artinya, wanita yang telah menikah tidak punya wewenang hukum terikat pada suatu perjanjian. Jadi, harta yang dikumpulkan dengan keringatnya sendiri akan dimiliki oleh suami, ia sendiri tak berhak atas harta itu (hal 365).

Belenggu dan penindasan kebebasan perempuan itu terus berlangsung selama rezim kolonial. Para perempuan terus dicampakkan secara tidak manusiawi. Perempuan janda bekerja keras menghidupi spirit untuk bertahan, ia harus siap menerima pinangan baru lagi. Ia tercampakkan lagi saat suami barunya pulang ke negerinya. Begitu seterusnya terjatuh dan menjanda dari suami pertama, kedua, ketiga, dan seterusnya.

John Crawfurd, sejarawan Inggris dalam History of the Indian Archipelago (1820) mengatakan, "Segera seorang wanita menjadi janda, dan jasad suaminya dikebumikan, yang umumnya dilakukan pada hari berikutnya setelah kematiannya. Jika janda ini kebetulan seorang kaya, ia akan segera menghadapi sejumlah peminang-peminangnya. Seorang nyonya yang ditinggal mati suaminya ketika aku ada di Batavia, pada minggu keempat ia menjadi janda dan sudah menemukan kekasihnya yang keempat; dan dalam akhir bulan ketiga ia sudah kawin lagi, malahan akan lebih cepat seandainya hukum memungkinkan."

Jejak-jejak tragedi kemanusiaan itu kian lirih terungkap dalam sejarah kolonial Hindia Belanda. Bila ditelusuri, kejahatan kemanusiaan itu memperlihatkan jejak-jejak sejarah pahit yang kian lirih disenandungkan dalam sejarah bangsa ini. Padahal, bangsa yang kuat terlihat ketika menghadapi sejarah pahit yang pernah terjadi. Bagaimana bangsa terlihat kokoh bila mengubur sejarah pahit yang pernah ada di negeri ini?

Barangkali kita memang tak mau belajar dan mencatat sejarah tragedi kemanusiaan oleh rezim kolonial. Seperti, pembantaian 10.000 orang China yang tak berdosa di Ommelanden, daerah pinggiran/pedalaman Batavia, pada tahun 1740. Korban tak berdosa itu bagian dari usaha orang-orang China membebaskan Batavia dari tirani Pemerintah Hindia Belanda. Ini tak pernah dicatat pada buku sejarah bangsa dan bahkan terlupakan dalam sejarah masyarakat Indonesia.

DI tengah maraknya para sejarawan melakukan riset sejarah di masa kolonial, buku ini cukup menyegarkan dan menjadi teman inspirasi. Metode dan penelusuran sumber-sumbernya menantang untuk penulisan sejarah konvensional. Seperti diakui penulis dari buku ini, banyak sejarawan menulis penelitian sejarah terhadap golongan tertentu, tetapi tidak menemukan jejak sejarah masa silam. Padahal, jejak itu penting untuk mengatakan suatu kebenaran dari peristiwa yang terjadi. Misalnya, perempuan-perempuan yang menjadi korban serdadu kompeni.

Hal lain yang menyegarkan buku ini adalah pendekatannya berbeda dari studi sejarah selama ini, yaitu menulis sejarah dengan menempatkan kemanusiaan sebagai frame utama. Seraya meneliti kompleksitas politik dan ekonomi yang komprehensif, riset sejarah berupaya mengangkat korban-korban pergolakan itu ke wilayah lebih luas. Suara-suara para korban sebagai sumber utama dan aktor terpenting dalam penulisan. Bila John Ingleson dalam Tangan dan Kaki Terikat: Dinamika Buruh, Sarekat Kerja dan Perkotaan di Indonesia Masa Kolonial (2004), berhasil menulis sejarah buruh sebagai aktor perubahan, Leonard Blusse pada buku ini menulis sejarah korban sebagai aktor kuat perlawanan terhadap kekejaman sebuah rezim kolonial.

Delapan esai dalam buku ini mengurai perubahan sosial di Batavia sejak monopoli perdagangan VOC bermain di kawasan Hindia Timur. Struktur perekonomian VOC dan komunitas China, pola relasi sosial di rumah tangga, sampai peran dan fungsi istri-istri berdarah peranakan. Analisis kemudian menukik di tingkat mikro, mata uang hitam sebagai jendela melihat perdagangan orang China dan Eropa di pasar lokal. Tak kalah menariknya menyoroti janda Betawi, melukiskan kedudukan sosial kaum perempuan di Batavia.

Gagasan-gagasan bertambah brilian, nyleneh, dan liar ketika menyusuri peristiwa-peristiwa masa lalu yang kurang terangkat. Hubungan orang-orang China dan Belanda di Batavia menyimpan misteri kehidupan tersendiri. Blusse mengungkapkan misteri mereka dengan istilah "persekutuan aneh". Istilah itu sebenarnya tidak sekadar menyiratkan arti harafiah hubungan-tubuh dua kelompok, melainkan adalah bagian kegagalan rencana kolonisasi Belanda. Semula politik pendudukan Batavia dengan memenuhi pemukim-pemukim kulit putih, keluarga-keluarga Belanda. Rencana ini tidak berhasil karena problem reproduksi, di mana keluarga sesama Belanda sulit membuahkan keturunan. Kegagalan bertubi-tubi itu ditebus dengan cara pendahulunya Portugis dengan perempuan pribuminya. Namun, Belanda lebih sedikit mengambil perempuan pribumi. Pemerintah Hindia Belanda lebih memilih rekanan bisnis yang dekat, yaitu orang-orang China. Maka, terjadilah apa yang disebut sebuah "persekutuan aneh" itu.

Kolonisasi pada persekutuan aneh itu pun tertambat di tengah jalan oleh karena muncul ekses pergundikan yang mengancam pertambahan keturunan. Praktik itu hanya menambah jumlah bayi yang mati karena keguguran. Di sini kemudian gereja digunakan oleh Pemerintah Hindia Belanda untuk mendisiplinkan perempuan-perempuan itu. Caranya dengan menikahkan mereka secara gerejawi dan membaptis anak-anak yang berayah Kristen. Bagi Pemerintah Hindia Belanda, cara ini akan membentuk keluarga teladan dan berkualitas di permukiman Batavia.

1 komentar

Michael Ghandi mengatakan... @ 16 Agustus 2008 pukul 22.31

jejak sejarah banyak yg ga tau...
makanya kurang memperhatikan jasa para pejuang..

Posting Komentar