| 1 komentar ]

Oleh: Andinta Erlinayanti

Sebagian dari institusi hukum mengenai hak cipta (copy right) bertujuan melindungi karya seni yang diciptakan oleh para seniman. Bentuk-bentuk karya seni tersebut meliputi; ciptaan lagu dan musik dengan atau tanpa teks, termasuk karawitan dan rekaman suara; drama, tari termasuk karawitan dan rekaman suara, drama, tari (koreografi), pewayangan, pantomim, karya-karya yang tidak diketahui penciptanya hak ciptanya berada di tangan negara. Dalam konteks hukum karya seni merupakan bagian dari HAKI dan HAKI pun merupakan suatu hak yang timbul akibat adanya tindakan kreatif manusia yang menghasilkan karya-karya inovatif yang dapat diterapkan dalam kehidupan manusia. Hukum memberikan perlindungan terhadap seniman dan karyanya yang lahir dari sebuah proses penciptaan; daya intelektual, karsa, dan rasa sang seniman. Di Indonesia pengaturan perlindungan tersebut di dituangkan dalam Undang-Undang No.19 tahun 2002 tentang Hak Cipta yang baru diberlakukan tanggal 29 Juli 2003 yang lalu atas perintah Pasal 78 undang-undang tersebut. Pasal 2 undang-undang tersebut mengatakan bahwa hak cipta merupakan hak eksklusif bagi pencipta dan pemegang hak cipta. Artinya, bahwa yang hak tersebut semata-mata diperuntukan bagi pemegangnya sehingga tidak ada pihak-pihak lain yang boleh memanfaatkan hak tersebut tanpa izin pemegangnya. Jadi, sebagai suatu hak eksklusif HAKI tidak dapat diganggu gugat. Hal ini sejalan dengan prinsip droit inviolable et sacre dari hak milik itu sendiri. Hak eksklusif itu sendiri tidak saja tertuju pada masyarakat. Oleh karena itu, tujuan hukum HAKI adalah menyalurkan kreativitas individu untuk kemanfaatan manusia secara luas.

Namun, kenyataannya di Indonesia kreasi para seniman secara hukum belum dihargai sebagaimana mestinya oleh masyarakat maupun kalangan seniman itu sendiri. Hal tesebut dapat disebabkan oleh berbagai hal, antara lain HAKI sebagai sebuah institusi hukum dirasakan belum mampu melindungi kepentingan hukum para seniman. Atau boleh jadi seniman itu sendiri merasa tidak "membutuhkan" perlindungan HAKI. Dalam hal ini tampaknya sang seniman lebih memandang keberadaan HAKI hanya dari aspek kepentingan moralitas dirinya ketimbang keuntungan ekonomis. Meskipun Undang-Undang No.19/2002 melindungi kedua kepentingan tersebut sebagaimana tertera dalam bagian ketujuh mengenai hak moral pencipta. Pasal 24 ayat 2 menyatakan bahwa suatu hak cipta tidak boleh diubah walaupun hak ciptanya telah diserahkan kepada pihak lain, kecuali dengan persetujuan pencipta atau dengan persetujuan ahli warisnya dalam hal pencipta telah meninggal dunia. Pasal ini dengan jelas memperlihatkan bahwa aspek ekonomi dan aspek moral dari hak cipta dilindungi oleh hukum. Contohnya sebuah lirik lagu yang telah dijual ke perusahaan rekaman oleh penciptanya, tidak boleh nama pencipta lirik lagu tersebut dihapuskan begitu saja meskipun ketika karya tersebut dipublikasikan. Hal ini merupakan kemajuan yang berarti dalam undang-undang hak cipta kita saat ini. Karena undang-undang tersebut mengakui dimensi moral dari karya itu lahir bukan hanya atas dasar kepentingan ekonomi tetapi merupakan ekspresi dari eksistensi sang seniman sebagai manusia yang dilindungi hak asasi manusianya (HAM) secara universal sebagai seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan. Pelanggaran terhadap hak moral sang seniman berarti pelanggaran terhadap HAM sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Penyebab lain walaupun seorang seniman mengetahui karyanya "digagahi" orang lain namun ia tidak berdaya untuk mempertahankan haknya karena minimnya pengetahuan para seniman tentang hukum khususnya mengenai hak cipta. Di sisi lain harus diakui bahwa penegakan hukum (law enforcement) HAKI pun masih jauh dari yang diharapkan, terutama dari segi kemampuan SDM para penegak hukumnya.
Dari perspektif sosiologi hukum khususnya dalam ranah HAKI kesenian sebagai subsistem dari masyarakat pengguna HAKI terdapat tiga komponen dasar berbentuk segitiga (triangle), yakni komponen dasar tersebut satu sama lain saling berhubungan dan memengaruhi. Ketiga komponen itu adalah, peraturan-peraturan perundang-undangan (regulasi) termasuk di dalamnya sistem penegakan hukum (law enforcement) yang disiapkan untuk mengemban kebutuhan HAKI. Kedua, komponen seniman yang merupakan subjek hukum penyandang hak dan kewajiban atas HAKI. Sementara itu, yang ketiga, adalah komponen masyarakat penikmat karya para seniman. Sebagai produk kebudayaan HAKI kesenian tidak terlepas dari keberadaan budaya hukum suatu bangsa. Oleh sebab itu, bila kita membahas HAKI kesenian sebenarnya tidaklah terlepas dari keberadaan HAKI sebagai sistem hukum positif yang berlaku di Indonesia. Dalam mencermati permasalahan HAKI kesenian di Indonesia ketiga komponen tersebut mengandung berbagai permasalahan dan kendala yang perlu segera dicarikan solusinya. Masalah mendasar dari komponen regulasi dan menegakkan hukum (law enforcement) HAKI bidang kesenian yang bertumpu pada UU Hak Cipta No. 19 tahun 2002, adalah bagaimana menyosialkan perundang-undangan yang berlaku. Walaupun secara fiksi hukum masyarakat dianggap mengetahui isi undang-undang HAKI, dalam kenyataannya pengaturan tentang HAKI masih belum memasyarakat. Khususnya di kalangan seniman banyak di antara mereka yang belum memahami hak dan kewajiban yang berkaitan dengan HAKI. Mereka tidak paham prosedur pendaftaran hak cipta sebagaimana diatur dalam BAB IV Pasal 35 tentang tata cara pendaftaran ciptaan sebagaimana diatur dakam undang tersebut di atas. Meskipun sesungguhnya hak cipta sang seniman yang sifat eksklusif itu melekat pada karya sang seniman diumumkan maupun tidak diumumkan pada publik, dianjurkan untuk didaftarkan agar jika karya itu dibajak atau terjadi sengketa surat pendaftaran ciptaan tersebut dapat dijadikan sebagai alat bukti awal di pengadilan. Hal ini amat membantu sang seniman yang umumnya tidak tahu harus melakukan apa dan bagaimana caranya mendapatkan perlindungan hukum? Di samping itu, kebanyakan seniman tidak tahu bagaimana seharusnya mendapatkan hak royalti dari karyanya. Pendek kata seorang seniman sering kali terkucilkan dari hak-hak atas karyanya karena ketidaktahuan. Itulah sebabnya masih perlu secara berkesinambungan disosialkan berbagai aturan mengenai HAKI kesenian dalam berbagai perwujudannya. Kesadaran hukum para seniman masih perlu ditingkatkan, hal ini merupakan tugas pemerintah, organisasi profesi seniman, maupun LSM yang peduli HAKI untuk melakukan penyuluhan hukum pada masyarakat maupun pada para seniman. Masalah yang menyangkut komponen seniman yaitu kendala budaya. Seniman di Indonesia pada umumnya bersikap religius dan tradisional. Mereka menganggap kemampuan kesenian yang dimilikinya merupakan pemberian Tuhan dan merupakan heriditas tradisi yang diturunkan oleh lingkungan budaya kolektivisme. Sementara itu, konsep HAKI datang dari budaya Barat yang bertitik tolak dari pengakuan kepada hak-hak individu dalam tradisi falsafah kapitalisme. Di samping itu tentu saja pengetahuan seniman tentang hukum khususnya hukum yang menyangkut hak cipta sangatlah minim, terutama para seniman tradisional, mereka hampir dapat dikatakan "buta hukum". Oleh sebab itu, sosialisasi HAKI di kalangan seniman menjadi amat penting artinya dan membutuhkan kiat tersendiri mengingat seniman merupakan "masyarakat" yang memiliki ciri-ciri kepribadian yang unit.

Yang terakhir adalah kendala dari komponen masyarakat. Atas nama fiksi hukum dalam konteks hukum positif di Indonesia, masyarakat dianggap tahu tentang adanya Undang-Undang Hak Cipta. Jika seorang warga melakukan pelanggaran terhadap UU Hak Cipta, mereka akan kena sanksi hukum meskipun menyatakan bahwa tidak tahu perbuatannya dilarang oleh UU Hak Cipta. Masalahnya banyak seniman tidak peduli apakah karyanya diberi royalti atau tidak, dicuri atau dibajak sekalipun. Apalagi, saat ini fakta di lapangan para penegak hukum belum melakukan penegakan hukum secara tegas bagi pelaku pelanggaran HAKI. Oleh karena itu, yang terjadi adalah orang-orang yang menguasai dunia industri kesenian (misalnya, industri rekaman dalam arti luas) di Indonesia mendapat kesempatan empuk untuk mengeruk keuntungan dari ketidakpedulian seniman dan ketidaktahuan masyarakat serta kelemahan penegakan hukum.

DI akhir tulisan ini barangkali layak dikemukakan bahwa Undang-Undang No. 19 tahun 2002 mengenai Hak Cipta yang sedang banyak dibicarakan sebenarnya memiliki kesempatan untuk disosialkan oleh pemerintah pada masyarakat semenjak setahun yang lalu seperti apa yang diamanatkan secara tidak langsung dalam pasal 78 yang berbunyi undang-undang ini mulai berlaku dua belas bulan sejak tanggal diundangkan pada tanggal 29 Juli 2002. Ini berarti pemerintah memiliki waktu satu tahun untuk menyosialkan Undang-Undang Hak Cipta itu pada masyarakat. Dalam pengamatan selintas upaya sosialiasi tersebut tampaknya belum maksimal dalam masyarakat karena di lapangan banyak kalangan masyarakat yang tampaknya kurang siap untuk melaksanakan amanat undang-undang ini. Meskipun "fiksi hukum" berlaku terhadap semua produk perundang-undangan sebagai perwujudan dari hukum positif kita, seperti apa yang penulis ungkapkan di atas. Bahkan, khusus bagi Undang-Undang Hak Cipta yang amat penting keberadaannya bagi masyarakat karena mencakup begitu banyak kepentingan, selayaknya upaya sosialisasinya dilakukan lebih serius sehingga dalam penerapannya menjadi efektif. Kekurangmatangannya proses sosialisasi undang-undang ini terbukti dari kenyataan begitu banyaknya pelanggaran yang masih berlangsung dalam masyarakat menjelang maupun sesudah undang-undang ini diberlakukan.

Padahal, sebelumnya diberlakukan Undang-Undang hak cipta yang baru ini masalah hak cipta sudah diatur dalam Undang-Undang No. 12 tahun 1997 (undang-undang yang lama). Yang jadi pertanyaan adalah apakah penegakan hukum gencar melakukan sweeping saat undang-undang ini mulai diberlakukan bakal "anget anget tahi ayam" saja karena tekanan perusahan multiinternasional yang merasa sangat dirugikan oleh masyarakat Indonesia yang selama ini membajak produk mereka? Seharusnya selama satu tahun masa sosialisasi sweeping pun harus dilakukan ke berbagai lingkungan masyarakat bukan hanya ke toko-toko VCD tetapi juga ke produser, instansi pemerintah, serta para penegak hukum itu sendiri. Hendaknya sweeping dilakukan seiring dengan penyuluhan isi Undang-Undang Hak Cipta tersebut sebagai bagian dari proses penegakan hukum sehingga masyarakat tidak hanya takut pada hukum tetapi sadar dan patuh pada hukum. Mudah-mudahan Undang-Undang Hak Cipta yang baru ini dapat memberikan perlindungan hukum pada masyarakat kreator khususnya masyarakat seniman. Ada sinisme dalam kalangan masyarakat tertentu bahwa sebuah undang-undang lahir untuk dilanggar bukan untuk dipatuhi.

Namun, kenyataannya di Indonesia kreasi para seniman secara hukum belum dihargai sebagaimana mestinya oleh masyarakat maupun kalangan seniman itu sendiri. Hal tesebut dapat disebabkan oleh berbagai hal, antara lain HAKI sebagai sebuah institusi hukum dirasakan belum mampu melindungi kepentingan hukum para seniman. Atau boleh jadi seniman itu sendiri merasa tidak "membutuhkan" perlindungan HAKI. Dalam hal ini tampaknya sang seniman lebih memandang keberadaan HAKI hanya dari aspek kepentingan moralitas dirinya ketimbang keuntungan ekonomis. Meskipun Undang-Undang No.19/2002 melindungi kedua kepentingan tersebut sebagaimana tertera dalam bagian ketujuh mengenai hak moral pencipta. Pasal 24 ayat 2 menyatakan bahwa suatu hak cipta tidak boleh diubah walaupun hak ciptanya telah diserahkan kepada pihak lain, kecuali dengan persetujuan pencipta atau dengan persetujuan ahli warisnya dalam hal pencipta telah meninggal dunia. Pasal ini dengan jelas memperlihatkan bahwa aspek ekonomi dan aspek moral dari hak cipta dilindungi oleh hukum. Contohnya sebuah lirik lagu yang telah dijual ke perusahaan rekaman oleh penciptanya, tidak boleh nama pencipta lirik lagu tersebut dihapuskan begitu saja meskipun ketika karya tersebut dipublikasikan. Hal ini merupakan kemajuan yang berarti dalam undang-undang hak cipta kita saat ini. Karena undang-undang tersebut mengakui dimensi moral dari karya itu lahir bukan hanya atas dasar kepentingan ekonomi tetapi merupakan ekspresi dari eksistensi sang seniman sebagai manusia yang dilindungi hak asasi manusianya (HAM) secara universal sebagai seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan. Pelanggaran terhadap hak moral sang seniman berarti pelanggaran terhadap HAM sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Penyebab lain walaupun seorang seniman mengetahui karyanya "digagahi" orang lain namun ia tidak berdaya untuk mempertahankan haknya karena minimnya pengetahuan para seniman tentang hukum khususnya mengenai hak cipta. Di sisi lain harus diakui bahwa penegakan hukum (law enforcement) HAKI pun masih jauh dari yang diharapkan, terutama dari segi kemampuan SDM para penegak hukumnya.

Dari perspektif sosiologi hukum khususnya dalam ranah HAKI kesenian sebagai subsistem dari masyarakat pengguna HAKI terdapat tiga komponen dasar berbentuk segitiga (triangle), yakni komponen dasar tersebut satu sama lain saling berhubungan dan memengaruhi. Ketiga komponen itu adalah, peraturan-peraturan perundang-undangan (regulasi) termasuk di dalamnya sistem penegakan hukum (law enforcement) yang disiapkan untuk mengemban kebutuhan HAKI. Kedua, komponen seniman yang merupakan subjek hukum penyandang hak dan kewajiban atas HAKI. Sementara itu, yang ketiga, adalah komponen masyarakat penikmat karya para seniman. Sebagai produk kebudayaan HAKI kesenian tidak terlepas dari keberadaan budaya hukum suatu bangsa. Oleh sebab itu, bila kita membahas HAKI kesenian sebenarnya tidaklah terlepas dari keberadaan HAKI sebagai sistem hukum positif yang berlaku di Indonesia. Dalam mencermati permasalahan HAKI kesenian di Indonesia ketiga komponen tersebut mengandung berbagai permasalahan dan kendala yang perlu segera dicarikan solusinya. Masalah mendasar dari komponen regulasi dan menegakkan hukum (law enforcement) HAKI bidang kesenian yang bertumpu pada UU Hak Cipta No. 19 tahun 2002, adalah bagaimana menyosialkan perundang-undangan yang berlaku. Walaupun secara fiksi hukum masyarakat dianggap mengetahui isi undang-undang HAKI, dalam kenyataannya pengaturan tentang HAKI masih belum memasyarakat. Khususnya di kalangan seniman banyak di antara mereka yang belum memahami hak dan kewajiban yang berkaitan dengan HAKI. Mereka tidak paham prosedur pendaftaran hak cipta sebagaimana diatur dalam BAB IV Pasal 35 tentang tata cara pendaftaran ciptaan sebagaimana diatur dakam undang tersebut di atas. Meskipun sesungguhnya hak cipta sang seniman yang sifat eksklusif itu melekat pada karya sang seniman diumumkan maupun tidak diumumkan pada publik, dianjurkan untuk didaftarkan agar jika karya itu dibajak atau terjadi sengketa surat pendaftaran ciptaan tersebut dapat dijadikan sebagai alat bukti awal di pengadilan. Hal ini amat membantu sang seniman yang umumnya tidak tahu harus melakukan apa dan bagaimana caranya mendapatkan perlindungan hukum? Di samping itu, kebanyakan seniman tidak tahu bagaimana seharusnya mendapatkan hak royalti dari karyanya. Pendek kata seorang seniman sering kali terkucilkan dari hak-hak atas karyanya karena ketidaktahuan. Itulah sebabnya masih perlu secara berkesinambungan disosialkan berbagai aturan mengenai HAKI kesenian dalam berbagai perwujudannya. Kesadaran hukum para seniman masih perlu ditingkatkan, hal ini merupakan tugas pemerintah, organisasi profesi seniman, maupun LSM yang peduli HAKI untuk melakukan penyuluhan hukum pada masyarakat maupun pada para seniman. Masalah yang menyangkut komponen seniman yaitu kendala budaya. Seniman di Indonesia pada umumnya bersikap religius dan tradisional. Mereka menganggap kemampuan kesenian yang dimilikinya merupakan pemberian Tuhan dan merupakan heriditas tradisi yang diturunkan oleh lingkungan budaya kolektivisme. Sementara itu, konsep HAKI datang dari budaya Barat yang bertitik tolak dari pengakuan kepada hak-hak individu dalam tradisi falsafah kapitalisme. Di samping itu tentu saja pengetahuan seniman tentang hukum khususnya hukum yang menyangkut hak cipta sangatlah minim, terutama para seniman tradisional, mereka hampir dapat dikatakan "buta hukum". Oleh sebab itu, sosialisasi HAKI di kalangan seniman menjadi amat penting artinya dan membutuhkan kiat tersendiri mengingat seniman merupakan "masyarakat" yang memiliki ciri-ciri kepribadian yang unit.

Yang terakhir adalah kendala dari komponen masyarakat. Atas nama fiksi hukum dalam konteks hukum positif di Indonesia, masyarakat dianggap tahu tentang adanya Undang-Undang Hak Cipta. Jika seorang warga melakukan pelanggaran terhadap UU Hak Cipta, mereka akan kena sanksi hukum meskipun menyatakan bahwa tidak tahu perbuatannya dilarang oleh UU Hak Cipta. Masalahnya banyak seniman tidak peduli apakah karyanya diberi royalti atau tidak, dicuri atau dibajak sekalipun. Apalagi, saat ini fakta di lapangan para penegak hukum belum melakukan penegakan hukum secara tegas bagi pelaku pelanggaran HAKI. Oleh karena itu, yang terjadi adalah orang-orang yang menguasai dunia industri kesenian (misalnya, industri rekaman dalam arti luas) di Indonesia mendapat kesempatan empuk untuk mengeruk keuntungan dari ketidakpedulian seniman dan ketidaktahuan masyarakat serta kelemahan penegakan hukum.

DI akhir tulisan ini barangkali layak dikemukakan bahwa Undang-Undang No. 19 tahun 2002 mengenai Hak Cipta yang sedang banyak dibicarakan sebenarnya memiliki kesempatan untuk disosialkan oleh pemerintah pada masyarakat semenjak setahun yang lalu seperti apa yang diamanatkan secara tidak langsung dalam pasal 78 yang berbunyi undang-undang ini mulai berlaku dua belas bulan sejak tanggal diundangkan pada tanggal 29 Juli 2002. Ini berarti pemerintah memiliki waktu satu tahun untuk menyosialkan Undang-Undang Hak Cipta itu pada masyarakat. Dalam pengamatan selintas upaya sosialiasi tersebut tampaknya belum maksimal dalam masyarakat karena di lapangan banyak kalangan masyarakat yang tampaknya kurang siap untuk melaksanakan amanat undang-undang ini. Meskipun "fiksi hukum" berlaku terhadap semua produk perundang-undangan sebagai perwujudan dari hukum positif kita, seperti apa yang penulis ungkapkan di atas. Bahkan, khusus bagi Undang-Undang Hak Cipta yang amat penting keberadaannya bagi masyarakat karena mencakup begitu banyak kepentingan, selayaknya upaya sosialisasinya dilakukan lebih serius sehingga dalam penerapannya menjadi efektif. Kekurangmatangannya proses sosialisasi undang-undang ini terbukti dari kenyataan begitu banyaknya pelanggaran yang masih berlangsung dalam masyarakat menjelang maupun sesudah undang-undang ini diberlakukan.

Padahal, sebelumnya diberlakukan Undang-Undang hak cipta yang baru ini masalah hak cipta sudah diatur dalam Undang-Undang No. 12 tahun 1997 (undang-undang yang lama). Yang jadi pertanyaan adalah apakah penegakan hukum gencar melakukan sweeping saat undang-undang ini mulai diberlakukan bakal "anget anget tahi ayam" saja karena tekanan perusahan multiinternasional yang merasa sangat dirugikan oleh masyarakat Indonesia yang selama ini membajak produk mereka? Seharusnya selama satu tahun masa sosialisasi sweeping pun harus dilakukan ke berbagai lingkungan masyarakat bukan hanya ke toko-toko VCD tetapi juga ke produser, instansi pemerintah, serta para penegak hukum itu sendiri. Hendaknya sweeping dilakukan seiring dengan penyuluhan isi Undang-Undang Hak Cipta tersebut sebagai bagian dari proses penegakan hukum sehingga masyarakat tidak hanya takut pada hukum tetapi sadar dan patuh pada hukum. Mudah-mudahan Undang-Undang Hak Cipta yang baru ini dapat memberikan perlindungan hukum pada masyarakat kreator khususnya masyarakat seniman. Ada sinisme dalam kalangan masyarakat tertentu bahwa sebuah undang-undang lahir untuk dilanggar bukan untuk dipatuhi.

1 komentar

Anonim mengatakan... @ 7 Oktober 2008 pukul 10.30

Pertamaxxx lagi, lagi pertamaxx !

Posting Komentar