Oleh Ariel Heryanto
Hari ini sembilan tahun lalu terjadi kekerasan massal terorganisir sistematis di Jakarta dan beberapa kota lain. Pelakunya orang-orang Indonesia; korbannya kaum sebangsa setanah air. Kekerasan itu berlangsung santai tanpa dihalangi aparat hukum, sehingga bisa berlanjut hari-hari berikutnya. Hingga kini, tidak ada satu pun orang yang diperiksa sebagai tersangka apalagi tertuduh.
Yang lebih memprihatinkan, ada cacat serius pada pemahaman umum tentang kekerasan Mei 1998 itu. Secara salah kaprah peristiwa itu digambarkan sebagai kekerasan rasial oleh masyarakat "pribumi" terhadap minoritas Tionghoa. Ini ibarat menggambarkan lepasnya Timor Timur dari Indonesia sebagai kemerdekaan masyarakat bermayoritas Katolik dari penjajahan masyarakat bermayoritas Islam.
Benar, sebagian besar korban Mei 1998 berasal dari etnik Tionghoa. Unsur rasisme sulit disangkal. Tapi kekerasan itu juga membuktikan parahnya seksisme anti-perempuan dalam masyarakat kita. Berbeda dari rasisme, penyakit yang ini kurang disadari oleh penderitanya sendiri, khususnya di kalangan tokoh masyarakat yang kebanyakan berjenis kelamin pria.
Dalam takaran berbeda-beda, kita semua mengidap rasisme. Tapi sebagian besar dari kita tidak siap melakukan perkosaan massal ditonton khalayak yang bersorak-sorai seperti yang terjadi di pertengahan Mei 1998. Tidak semua orang rasis mau atau mampu untuk menampar, melempari batu, atau meludahi orang yang dibenci.
Rasisme tidak cukup mendorong terjadinya kekejaman pada tingkat sedahsyat Mei 1998. Serasis apa pun pelakunya, masyarakat umum tidak akan membiarkan mereka bebas dari tuntutan pidana seandainya perempuan dan hukum lebih dihormati di sini. Lalu apa lagi yang ikut memungkinkan terjadinya kekerasan Mei 1998 itu?
Menurut Tom Boellstorff dan Marshall Clark, berbagai kekerasan di Indonesia belakangan mungkin layak dipahami sebagai bangkitnya murka maskulin masyarakat Indonesia. Kedua sarjana itu mengkaji meningkatnya kekerasan belakangan terhadap kaum homoseksual, feminisme, dan pornografi. Pokoknya semua yang dianggap mengancam atau melemahkan nilai-nilai kejantanan.
Sumber murka boleh jadi tidak bersangkut paut ras, jenis kelamin, atau agama. Tapi ketika meledak, ungkapan kemarahan itu bisa sangat kental berwatak rasis, primordial, seksis atau mengatasnamakan agama. Mengapa? Karena itulah bahan mentah atau kosa-kata yang tersedia murah-meriah dalam masyarakat. Ini terjadi bersamaan dengan meningkatnya kadar keagamaan dan rasa kedaerahan dalam beberapa dekade belakangan.
Jika pengamatan itu ada benarnya, mungkin bisa ditambahkan mengapa bentuk ungkapan kemarahan itu biasanya berwujud kekerasan fisik. Kekerasan dihayati masyarakat Indonesia sejak kecil ketika belajar tentang sejarah nasional yang berdarah-darah. Arak-arakan pawai, patung, dan gambar poster yang tampil dalam setiap peringatan HUT RI selalu pria berotot, bersenjata, dan berdarah.
Semua penghayatan itu dilengkapi dengan pengalaman berpolitik budaya militeristik Orde Baru. Penjarahan, perkosaan, pembakaran, pembunuhan massal terjadi bertahun-tahun di Timor, Aceh, atau Papua. Sedikit demi sedikit semangat tempur dari kawasan itu menyebar ke berbagai pelosok tanah air.
Gejalanya bukan cuma kebiasaan baris-berbaris, baju seragam loreng, dan logo-logo kejantanan. Ada film horor wajib tayang di televisi dan sejumlah museum berdarah-darah tentang 1965. Mayat sengaja ditebarkan berserakan di tempat umum ketika berlangsung proyek Orde Baru yang dinamakan penembakan misterius 1983-4. Pembunuhan ninja dan santet tahun 1980-90an merebak di mana-mana. Kelompok milisi, preman, sampai menwa menjamur.
Adakah yang aneh dari kekerasan fatal berulang-ulang di lembaga pendidikan untuk pegawai negeri dalam beberapa tahun belakangan? Anehkah meningkatnya kasus penganiayaan oleh suami terhadap istri, seperti dilaporkan media massa bertubi-tubi? Dalam deretan ini kasus Mei 1998 tidak luar biasa.
Sejak merdeka Indonesia tidak pernah benar-benar terlibat perang berkepanjangan melawan negara lain, kata Marcus Mietzner. Kalaupun ada perkecualian, dalam bentrok bersenjata di ujung-ujung wilayah negeri, Indonesia selalu kalah catatnya. Mungkinkah ini sebabnya semangat maskulin militeristik di Indonesia menderita tekanan batin bertahun-tahun? Mungkinkah ini sebabnya, ketika frustrasi itu meledak, yang jadi korban adalah orang-orang terdekat di dalam negeri sendiri yang lemah dan tidak bersalah?
Sampai kapan tragedi Mei 1998 dianggap semata-mata sebagai kekerasan rasial terhadap sebuah minoritas etnis? Sehingga mayoritas masyarakat tidak perlu peduli, karena tidak ikut menjadi bagian dari masalah yang lebih laten dan luas?
[10/10/2008 09:51:00 AM
|
0
komentar
]
0 komentar
Posting Komentar