BAGAIMANA “Marjinal” merayakan ulangtahunnya? Grup punk asal Jakarta ini, sekaligus komunitasnya Sapibetina, bikin acara di Newseum, sebuah cafe-bar di jalan veteran, dekat masjid Istiqlal tapi juga bersebelahan markas besar militer Indonesia. Pilihan tempat ini, yang jauh dari kesan komunitas punk, terdengar dilematis. Namun, Helmi Haska, media campaign komunitas tersebut, mengatakan pada saya bahwa itu sebagai bentuk memperluas “ruang-ruang ekspresi kesenian” punk. Haska penulis buku “Bob Marley: Rasta, Reggae. Revolusi.” Ia juga editor blog Marjinal serta pengelola zine “Black Cat.” Zine sejenis newsletter yang dibangun atas dasar semangat indie, berlawanan dengan maga-zine. Zine umumnya fotokopin, hitam-putih, ukuran kecil. Black Cat sendiri sudah terbit dua edisi.
Acara ulangtahun ke-12 itu pada malam 22 Desember kemarin, bertepatan dengan apa yang orang santer sebut “hari Ibu.” Taufik Rahzen, pemilik cafe itu, membuka acara dengan mengatakan tanggal itu juga hari lahir anak semata wayangnya. Dia juga bercerita soal ibunya yang baru saja sembuh dari rawat rumahsakit, yang sepanjang usia baru kali itu dirawat. Rahzen seorang yang sangat sayang dengan ibunda dan anaknya.
Giliran Mike didaulat bicara di atas panggung. Dia bilang “sangat berterimakasih” pada semua hadirin yang datang. Dia ditemani Bobby, basist Marjinal, serta seorang yang memainkan akordeon dan drummer Adit. Mereka menyanyi sebentar, sebuah lagu tentang ibu dan ‘Bebaskan’—satu lagu dari album ‘Predator.’ Selagi mereka bernyanyi, slide gambar memancar ke dinding panggung dari sebuah infokus yang terhubung ke laptop di atas meja bar. Gambar-gambar itu rangkaian desain bikinan Bobby. Kesannya artistik saat cahaya dari berbagai desain itu menimpa wajah orang-orang di atas panggung.
Bobby, selain jago menato, adalah tulangpunggung desain kaos-kaos Marjinal. Dia membikinnya dengan teknik cukil kayu. Ini memainkan gradasi warna hitam dan putih. Selain kaos, ada juga aksesoris lain berupa pin maupun emblem, dijual melalui jejaring indie. Di acara ini, di dekat ujung tangga, Imam, anak Pekalongan, bertugas menjual berbagai kreasi Marjinal tersebut. Ada yang membeli, ada juga yang sekadar melihat-lihat.
Ada acara potong kue. Bagi-bagi nasi kucing. Juga minum teh dan kopi. Seiring malam, pengunjung makin padat memenuhi ruangan cafe.
Mereka anak-anak muda. Celana ketat. Rambut mohawk. Sepatu sneaker. Tapi banyak juga yang tampilan biasa. Adik Bobby, yang jago IT, dikenalkan pada saya seperti ‘Truman Capote’—kacamata minus tebal. Saya juga bertemu dengan Yudhistira Ananta Toer, anak bungsu Pram, yang menemani anaknya, Adit. Keluarga Pram memang dekat dengan Marjinal.
Mujib Hermani, saudara kandung Rahzen, datang dengan keluarganya. Mujib anak muda yang tergolong dekat dengan keluarga Pram. Muhidin M. Dahlan, penulis prolog buku-buku Pram terbitan Lentera Dipantara, menyebut Mujib sebagai “anak ideologi” Pram. Mujib pula yang memperkenalkan ide-ide pemikiran Pram dengan Marjinal dan belakangan mereka seperti saudara. Saya sendiri merasakan acara ulangtahun tersebut seperti acara keluarga.
Ada juga pemutaran video dokumenter tentang komunitas Sapibetina. Mike bilang video tersebut dibikin oleh Aji, seorang mahasiswa dari BSI untuk tugas akhirnya. Lalu.
pada kesempatan itu diputar juga film Punk Im Hungel (Punk di Hutan Rimba) karya Andreas Greiger dari Jerman, yang tahun lalu ditayangkan televisi Jerman, DW Tv, merupakan reportase tour band CBU (Cluster Bomb Unit) di beberapa daerah di tanah air, serta liputan terhadap scene punk di beberapa scene punk di Jakarta. tak hanya tentang Marjinal. Pemutaran film tersebut, kata Mike di saat saya pamit pulang, merupakan bentuk anti-kritik terhadap sebagian komunitas punk yang mempermasalahkan Marjinal masuk televisi. Dokumenter itu menyiarkan kelompok punk penentang Marjinal. ”Mereka juga masuk tivi kan?!” kata Mike.
Ini sebetulnya masalah lama, lebih dari setahun lalu. Saat itu Marjinal ditentang karena menerima kru RCTI membuat dokumentasi komunitasnya. Film tersebut diputar untuk acara “Urban,” sebuah program baru dari televisi swasta itu, yang belakangan tak bertahan lama. Durasinya 30 menit, sebagian dipotong untuk iklan. Di akhir tayangan ia memperlihatkan para street punks dikejar-kejar polisi di wilayah Blok M. Oleh sebagian komunitas punk, gambar tersebut “dipermasalahkan.”
Marjinal dan Taring Babi bukannya tanpa protes. Mereka minta reporter “Urban” menyerahkan rekaman secara utuh. Tapi, setahu saya, ini tidak ditanggapi. Perdebatan makin tak sehat karena Eko dari Bunga Hitam, yang memasalahkan kejadian itu, menyebarkan kampanye negatif terhadap Marjinal. Misalnya, Marjinal menjelek-jelekkan Anto Baret, seniman gaek jalanan yang memiliki “warung apresiasi’ di Bulungan.
Ini tak benar. Saya pernah bertemu Anto Baret dan bahkan dia tidak tahu sama sekali akan kampanye tersebut. Intinya, Marjinal dianggap dekat dengan komunitas Taman Ismail Marzuki. Adapun “Wapres” adalah tempat kesenian lain lagi di Jakarta Selatan. Mike dan Haska maupun Mujib berasumsi bahwa kampanye negatif itu dibikin agar ada anggapan Marjinal “punya musuh” dengan Bulungan. Sasarannya untuk para punker yang awam, yang mudah diasut, untuk ikutan “memusuhi” atau “menjauhi” Marjinal. Nyatanya, penulis Chavcay Syaifullah yang dekat dengan Anto Baret mengatakan kampanye tersebut adalah “omong besar.” Marjinal bahkan ikut main acara ulangtahun KPJ, kelompok pengamen jalanan yang didirikan Anto Baret.
Persoalan ini jadi kacau karena stasiun yang menyiarkan dokumentasi itu juga tak punya kesan tanggungjawab terhadap liputannya. Ada kesan tayangan itu dibikin lebih “dramatis.” Misalnya banyak pernyataan Mike tentang street punk yang dipotong, yang konteks ucapannya “Street punk adalah kawan-kawan yang tengah mencari jati dirinya.” Umumnya street punk adalah anak usia remaja, yang putus sekolah, menjadi pengamen dan merasa menemukan jatidiri dari musik atau lagu-lagu punk.
Tentu saja, “dramatisasi” yang kental muncul dari gambar punker yang dikejar-kejar itu. Kesannya memang mereka dianggap seperti penjahat, atau dalam kamus birokrasi Indopahit disebut “sampah masyarakat.” Tayangan itu akhirnya jatuh dalam stigmatisasi, sesuatu yang dilawan kelompok Taring Babi selama ini, bahwa punk itu jahat, berdosa—pokoknya yang berkonotasi negatif, dan penilainnya cuma hitam-putih. Pendek kata, tayangan itu memberikan kesan monoton: Marjinal dianggap punk yang baik, sementra street punks buruk. Padahal dunia punk tak sesederhana itu. Saya kira media di Jakarta harus mulai memikirkan tanggungjawab terhadap liputan-liputannya. Paling tidak mereka punya ombudsman yang bisa jadi tempat warga mengadu!
Bagi saya sendiri, punk dekat dengan media tak perlu dijadikan suatu soal yang aneh. Yang penting mereka bisa menjaga identitasnya dari sistem mapan itu. Tidak meninggalkan lingkungan pinggiran mereka yang selama ini menjadi tempat lahir dan sumber kreasi serta relasi sosial juga pilihan politisnya. Relasi media diperlukan untuk menyebarkan gagasan punk, yakni ‘Do it Yourself’—sebagaimana ucapan David Bryne, leader grup punk Talking Heads juga legenda punk New York pada BBC TV tahun 1995. Mereka memasuki sistem yang mapan, media mainstream, justru untuk menyebarkan gugatan terhadap kemapanan yang hipokrit. Marjinal bahkan diliput oleh radio Voice of Human Rights dan juga terakhir ia muncul dalam tayangan Elshinta TV.
Andy Bennett dalam “Culture of Popular Music,” menuturkan punk London bahkan memiliki hubungan dekat dengan media. Ini merujuk perbedaan dengan grup punk dari New York, awal kelahiran musik punk tahun 60an, yang memilih menghindari bahkan bersikap antipati terhadap media. Musik punk memang kemudian lebih populer di tanah Inggris, melalui kehadiran Sex Pistols dengan apa yang disebut gelombang perlawanan ‘Anarchy in U.K.’ Banyak anggapan salah soal sejarah musik punk karena kepopuleran ini.
Dalam tulisan saya, yang diminta Helmi Haska untuk zine “Black Cat’ edisi ketiga nanti, saya mengutip istilah Claire Holt, pemikir kesenian Indonesia dari Cornell University, untuk menyamakan situasi pengalaman musik Marjinal dengan perkembangan berbagai seni tradisi di nusantara. Saya mengutip apa yang disebut Holt “gerak osmosis,” yaitu proses kebudayaan dari luar yang tidak asal diduplikat mentah-mentah. Ada selalu pengaruh asing yang muncul, misalnya pengaruh India pada cerita Ramayana versi Jawa. Tapi hikayat Ramayana Jawa tetaplah milik folklore Jawa.
Ini terjadi juga dalam Marjinal. Musik punk, yang hukum bakunya memainkan dua not nada menjadi semacam hukum univeral. Dalam Marjinal hal itu senantiasa ada, tapi lagu-lagu Marjinal menggunakan bahasa Melayu, juga ada sejenis harmonisasi. Lagu-lagu Marjinal bukan asal musik keras, vokal gahar, dan teriak-teriak yang melenting jauh dari titik-titik nada. Mereka paham akan harmonisasi. Lagu ‘Luka Kita’ tentang duka tsunami Aceh, misalnya, memakai koor anak-anak kampung sekitar kontrakan mereka, Setu Babakan, juga sebelumnya diiringi petikan gitar akustik dan bahkan ditutup suara dentuman dari ember plastik!
Mereka juga menyitir anekdot Betawi macam ‘ngehe’ atau ‘madikipe.’ Mereka bilang globalisasi itu ‘tai laso’—kata umpatan dari Manado. Mereka juga memakai istilah rakyat Makassar untuk menyebut gotong-royong, ‘Rencong Mak Rencong’ sebagai judul lagu tentang persaudaran interpersonal antar rakyat kecil. Dalam satu desain bikinan Bobby, sepotong wajah Che Guevara memakai baret yang terkenal itu, diadopsi menjadi wajah Benyamin Sueb. Jakmania, suporter Persija, suka mengibar-ibarkan baliho wajah ‘Che Ben’ tersebut pada saat klub sepakbolanya bermain di Senayan.
Pada akhirnya, punk bukanlah sekadar musik. Ia soal sikap tentang ‘Do it Yourself.’ Soal kemandirian. Sukarno menyebutnya ‘berdikari’ alias berdiri di kaki sendiri. Saya suka mengutip ucapan Pramoedya Ananta Toer mengenai arti mandiri itu. Dia bilang “Semua kekayaan kehidupan berada di dalam tubuh kita.” Bukan kebetulan pada satu ketika Marjinal plus komunitas Taring Babi pernah mendapuk almarhum Pram sebagai “Datuk Punk.”
Well, dalam acara perayaan ulangtahun Marjinal di Newseum itu, ada satu pengunjung yang datang belakangan. Tampilannya rapih, kemeja putih, jas disampirkan di lengan, dan pantolan hitam. Dia berkacamata. Menebarkan senyum. Dia datang dan segera membeli satu kaos Marjinal. Saya menyalaminya. Saya mengenalnya. Dia Fadjroel Rahman.
Jadi di acara punk ini, ada seseorang yang akhir-akhir ini rajin berkampanye sebagai calon presiden independen.
Fadjroel bilang pada Mujib, “kalau bukan karena Mike, saya nggak datang.” Dia menyebut “calon presiden independen juga adalah marjinal!” Dia tertawa.
Saya penasaran soal proses peninjauan kembali undang-undang Pemilu yang kelompoknya ajukan ke Mahkamah Konstitusi. Itu aktivitasnya yang getol dilakukan saban hari. Sudah tujuh kali sidang, katanya. Tadi siang ada calon bupati yang diijinkan dari independen. Itu kesembilan kalinya. “Kalau presiden independen diloloskan, bisa jungkir-balik partai-partai!” kata Fajdroel.
Saya juga bertemu Een, seorang punk cum dosen. Dia pengajar hukum di Universitas Pancasila. Dia juga jadi narasumber dalam liputan ‘Urban’ RCTI. Orangnya kalem. Topi menutupi kepalanya yang plontos, mengenakan jaket. Dia lebih memilih sudut di ujung meja bar bersama seorang temannya. Tampaknya Een lebih suka memerhatikan jalannya acara tersebut.
Haska selalu menjadi mediator acara setelah sesi selesai. Marjinal memainkan dua lagu lagi. Dan selalu ada yang menuju ke dekat panggung, anak-anak punk yang remaja, berjoget atau sekadar mengikuti lirik lagu sembari menggoyang kepala atau mengacung-acungka telunjuk. Kemudian ada kesempatan bagi pengunjung untuk tampil. Saya menunggu mereka memainkan lagunya, tapi saya pamit di tengah satu lagu, karena ternyata telinga saya lebih menyukai Marjinal yang menyanyi.
Saya membawa teman saya, namanya Ipung, dan kami keluar bersama tapi bertemu Mike di pinggir jalan, sedang membeli rokok. Kami ngoborol sejenak. Mike bilang bahwa menjadi punk itu gampang dan bisa dilakukan dalam satu jam. Lu beli kaos di Pasar Baru. Lalu pakai anting. Celana ketat. Rambut mohawk. Selesai.
Tapi punk bukan soal gaya. Ini “do yourself.” Jadilah dirimu sendiri, kata Mike.
Ipung, yang baru kali ini bertemu Marjinal meski sudah mendengar lama ceritanya dari saya, menyimak betul ucapan Mike.
Saya bilang Marjinal harus pikirkan juga soal situasi kekinian. Kerusakan hutan. Lumpur lapindo. Isu lingkungan. Banjir. Dan sebagainya. Perlu juga memikirkan soal kebangsaan. Saya menunggu, seraya berharap, suatu saat saya bisa mendengar Marjinal bikin lagu tentang Papua, atau menyitir ‘mop-mop’ Papua yang lucu tapi warganya menderita itu. Saya membayangkan seorang Arnold Ap dari Jakarta yang bicara Papua dalam satu lagu dan populer di jalan-jalan, sebagaimana lagu Marjinal umumnya. Arnop Ap adalah seniman rakyat Papua yang dibunuh Kopassus tahun 80-an.
Di akhir pembicaraan, sambil guyonan, Mike minta saya mencatat ucapannya. Saya mencatat ucapannya adalah uraian dia setahun silam. Intinya tentang kebebasan dan melawan sistem. Ternyata sudah setahun saya tak ketemu dengan Marjinal dan malam itu, pada saat ulangtahun mereka, kami bertemu lagi.
Mike bilang, “Supaya ludah ogut gak kebuang percuma...”
Kami bertiga tertawa. ***
koran-marjinal.blogspot.com
[1/15/2009 06:19:00 PM
|
5
komentar
]
5 komentar
moga lom terlambat ngucapin:selamat ulang tahun...
wah .. lagu"a marjinal ini sering banget d'nyanyiin sama anak" kecil yang suka ngamen d'jalanan
lagu"a marjinal d'nyanyikan para kaum marjinal
wuah... seru bener rangkaiannya sob...
sukses selalu, 12 tahun udah lumayan establish loh ...
merdeka atau mati
mat kenal q suka ma taring babinya nich
Posting Komentar