| 7 komentar ]

Segala sesuatu memang telah dan akan berubah. Kalau dulu buku cerita “Keliling Dunia 80 Harinya Jules Verne begitu digemari dan dikagumi, sekarang bukan mustahil malah menjadi bahan tertawaan anak-anak. Kerena saat ini untuk keliling dunia tak perlu selama itu.Cukup duduk manis di dalam Jet, dan dalam waktu tak kurang 1 x 24 jam dunia sudah bisa dikelilingi. Bahkan bulan yang orang dulu dianggap sebagai villanya para Dewa, kini sudah di kunjungin oleh manusia. Dari bulan itu pula Yuri Gagarin sanggup “mengelilingi” bumi hanya dengan satu kedipan mata. Tentu saja bukan karena dia Dewa, tapi karena makhluk yang bernama tekhnologi itulah yang membuat kita mampu merubah mimpi menjadi nyata, yang menjadi nyata, yang menjadi jembatan antara alam nyata dan alam maya. Tekhnologi pula yang menggeser singa dari gelar raja hutan menjadi raja kebun, karena hutannya sudah tak ada lagi, yang masih ada tinggal kebun, tepatnya kebun binatang.

Semua memang sudah berubah. Kalaupun ada yang abadi, itu tidak lain adalah proses perubahan itu sendiri. Kalau di zaman dulu perang selalu menuntut jiwa-jiwa patriotik, sekarang tidak perlu lagi prajurit yang berani mati. Mereka cukup menekan tombol-tombol dan berlindung di balik kecanggihan rudak dan bahkan nuklir. Sehingga sang prajurit tidak perlu mati, sebaliknya, akibat rudal-rudal itu, ribuan warga sipil terpaksa angkat kaki dari tanah mereka sendiri. Bahkan ribuan lainnya terpaksa mati tanpa mereka bisa mengerti kenapa mereka, yang tidak terlibat perang bisa ikut mati. Begitulah satu sisi manusia yang menggerakkan perubahan, disisi lain manusia pula yang harus menjadi korban perubahan itu sendiri.

Begitu juga kota ini (Jakarta). Kota yang terkenal dengan polusinya itupun tak luput dari perubahan. Dulu , ketika masih bernama Batavia, kota ini cukup lenggang dengan barisan pepohonan disana-sini tak ada bising klakson yang bersahut-sahutan, hanya ada delman yang berlenggak-lenggok menyusuri jalan. Penduduk yang tak suka naik delman, bisa menggunakan trem yang nyaman. Namun karena dianggap mengganggu lalu lintas, oleh walikota Sudiro saat itu, trem tersebut dilenyapkan. Rel-rel yang melingkari kotapun dicabuti. Sementara, ditengah kota mengalir air ciliwung yang jernih tanpa sampah apalagi limbah. Saat itu, untuk berenang tak perlu pergi ke kolam renang. Ciliwung telah menyediakan tempat bagi siapapun yang ingin menceburkan diri. Baik sepanjang jalan Hayam Wuruk maupun dipintu air Manggarai Batavia, lepas dari masalah penjajahan, adalah kota yang tertata indah yang penduduknya bisa menarik nafas panjang tanpa takut terkena gangguan pernafasan.

Namun, kini semua itu tinggal sejarah yang telah lama di kubur waktu. Tak ada lagi penduduk tertawa sambil mencipratkan air di Ciliwung karena airnya sudah hitam pekat dan bau. Trem yang nyaman telah berganti wajah KA Jabodetabek yang berbau kematian setiap saat, jika lengah sedikit penumpang bisa jatuh lalu diseret kereta tanpa ada pihak manapun yang merasa bertanggung jawab. Barisan pohon pun kini tinggal penghias jalan-jalan penting, selebihnya gersang dan panas. Tata kota pun telah jauh dari rapi. Gedung-gedung tinggi menjamur berdiri angkuh diantara ratusan rumah-rumah kumuh. Kota tak lagi terasa lagi akrab karena orang-orang kaya terlalu menjaga jarak. Mereka mendirikan pagar-pagar tinggi yang atasnya berduri sambil tak lupa menuliskan “Awas Anjing Galak!”.

Apa maksud itu? Untuk menghindari pengemis atau menakuti petugas pajak? Entahlah, yang jelas, kota ini telah berubah dan akan tetap berubah. Jika perubahan tidak sesuai yang diharapkan, harap dimaklumi. Karena perubahan itu seperti kuda liar yang seringkali di luar kendali. Bukan, sama sekali bukan karena petugas kota tidak professional, kurang tegas atau bijak, ini semata-mata hanya karena, seperti biasa, kesalahan teknis.

7 komentar

Anonim mengatakan... @ 31 Januari 2009 pukul 17.05

kadang perubahan memanga membuat kita terperangah dan keangen masa lalu dimana kehidupan tampak indah dan mudah, namun siapa yang bertanggung jawab untuk itu juga susah untuk dicari....

admin mengatakan... @ 1 Februari 2009 pukul 15.49

@ suryaden
saya sangat setuju bang...

Anonim mengatakan... @ 1 Februari 2009 pukul 17.46

but, the show must go on, fiuh! benar, kadang-kadang masa lalu lebih indah, sayang yang harus kita jalani adalah hari ini dan yang akan datang. wake up bahoo!

Unknown mengatakan... @ 2 Februari 2009 pukul 11.21

yup. membayangkan masa lalu terasa lebih menentramkan....mungkin karena tingkat depresi kita makin kedepan makin meninggi ya Kang...

Senoaji mengatakan... @ 2 Februari 2009 pukul 21.49

ngenes juga baca ulasan diatas... yang seharusnya pekembangan jaman bisa dijadikan alat sinergisitas dengan sekitarnya, sekarang malah semakin jelas sipa yang harus dimusnahkan...

senoaji

Anonim mengatakan... @ 3 Februari 2009 pukul 10.12

masa lalu begitu tentram, masa depan serasa makin suram...

Anonim mengatakan... @ 6 Februari 2009 pukul 03.50

Kita perlu perubahan
We need a change ....kalau ini sih slogan obama...hehe

wah kalau ulasan diatas mungkin perubahan yang sebenarnya tidak diinginkan

Posting Komentar