| 14 komentar ]

Pejabat itu jenis manusia juga meski tidak setiap manusia bisa menjadi pejabat. Mereka tentu saja berbeda dengan orang kebanyakkan, kalau tidak bisa dibilang sengaja membedakan diri. Kalau diibaratkan ikan lele, mereka adalah lele dumbo. Kalau ayam, pejabat itu jenis ayam Bangkok yang tidak hanya pandai berkokok, tapi juga mahir bertarung.

Karena itu, wajar saja jika mereka harus dihormati. Bukan saja karena kapasitasnya sebagai pejabat, tapi juga mereka itu punya intelegensi yang diatas rata-rata. Karena beliau-beliau itu manusia juga, tentu saja mereka juga butuh makan. Cara makannya pun berbeda dengan orang banyak. Makannya sedikit-sedikit, pelan-pelan dan punya etika makan sendiri. Kalaupun porsi makan mereka banyak, mereka akan menelannya secara diam-diam supaya tidak terlalu kentara. Di mata mereka yang makannya banyak dan asal lahap itu cuma kambing.

Bahkan mereka punya adat-istiadat tersendiri jika tertawa. Tidak boleh tertawa terbahak-bahak atau mulut sampai terbuka lebar. Tapi cukup ditahan saja. Karena kalau tertawa sampai giginya nongol keluar, itu dianggap tidak sopan. Cuma tukang becak saja yang ketawa ngakak sampai berguling-guling. Dan pejabat tidak boleh bertingkah konyol seperti tukang becak. Bisa jatuh kredibilitas dan nama besarnya.

Dunia pejabat memang bukan dunia tukang becak, tukang gali sumur, apalagi tukang sayur. Dunia mereka agak diatas dan karenanya harus bersikap anggun, sopan, dan rapih. Ini bukan persoalan sepele, tapi menyangkut wibawa dan harga diri. Mereka memang seolah memisahkan diri dari orang banyak. Maklum saja, mereka itu bibit-bibit unggul. Apalagi mereka orang penting yang patut dipisahkan. Jadi harap dimaklumi kalau untuk menemui mereka agak sedikit sulit dan harus melewati setumpuk birokrasi yang rumit. Walhasil, sebagai pejabat, tentu saja mereka tidak layak naik bus kota. Mereka harus punya kendaraan pribadi sendiri-sendiri. Dari mana uangnya? Itu bisa diatur. Lagipula tugas mereka kan mengurusi rakyat. Dan untuk ngurusi rakyat itu bukan kerjaan main-main. Ada beban ekstra berat dipundak mereka. Jadi, sangat wajar jika mereka mendapat dan meminta fasilitas lebih.

Soal permintaan fasilitas yang datangnya justru disaat masyarakat sedang kalang-kabut dipermainkan krisis, itupun masih bisa dimaklumi. Pejabat itukan bukan orang kebanyakkan, sehingga mereka harus berbeda dan dibedakan. Kalau di zaman dulu, kedudukan mereka persis seperti kaum priyayi yang berdarah biru. Yang harus disanjung, dipuji dan ketika orang biasa lewat di depannya harus membungkuk-bungkukkan badan serendah mungkin. Satu lagi, para priyayi itu juga harus menjaga jarak dari rakyat, harus membuat garis sejelas mungkin antara mana yang rakyat dan mana yang priyayi.

Hanya saja, ketika pejabat sudah seperti priyayi yang harus menjaga jarak dengan rakyat, bagaimana mereka bisa benar-benar mengerti aspirasi masyarakat? Bagaimana mungkin mereka akan mengerti jerit keprihatinan rakyat kecil jika mereka hanya mendekam di ruang kerjanya yang ber AC? Apakah perlu di wilayah demokrasi untuk membuat sekat-sekat antara pejabat dengan rakyat atau antara penguasa dengan yang dikuasai? Mungkin mereka memang hanya cukup mengintip keadaan masyarakat lewat celah sempit di atas sana. Atau mungkin juga dua ratus juta rakyat cukup dilihat nasibnya lewat beberapa lembar laporan. Itukan jauh lebih praktis, lebih mudah, dan lebih efisien daripada harus mendengarkan langsung tuntutan rakyat, berisikkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkk !!!!!!!!!!!!!

gambar : arsuka.wordpress.com

14 komentar

Senoaji mengatakan... @ 25 Februari 2009 pukul 00.05

wewwww... benar juga sob, pejabat memberlakukan dirinya bak priyayi padahal sebelum jadi pejabat mungkin juga mereka lebih rendah dari kambing wkwkwkwkwkwkwkw

VOTE KAMBING FOR LEGISLATIF

admin mengatakan... @ 25 Februari 2009 pukul 00.17

@ senoaji
vote kambing for legislatif ... yes....

Anonim mengatakan... @ 25 Februari 2009 pukul 02.52

ingin menang sendiri, nggak mau dengerin jeritan rakyat, merasa paling pinter, merasa punya dukungan banyak...
dasar penyakit keturunan kali ya...

Diana Yusuf mengatakan... @ 25 Februari 2009 pukul 04.56

wah bener sekali kang yang ditulisnya

Anonim mengatakan... @ 25 Februari 2009 pukul 07.47

ada perbedaan antara pejabat dan priyayi
kalo orang biasa menghadap priyayi .. pulangnya harus jalan mundur dan berjalan dengan kaki di tekuk [ga bole di kasi pantat]
tapi kalo pejabat .. seneng banget di kasi pantat .. apalagi pantat ayam [kampus]
hahahhaahahahahah .. just a joke

nanggroe mengatakan... @ 25 Februari 2009 pukul 10.40

saya setuju kang

admin mengatakan... @ 25 Februari 2009 pukul 23.15

@ suryaden
mungkin bukan penyakit keturunan lagi bang, mungkin dah sifat keturunannya mang dari sananya.. heee
@ Harry Seenthings
makasih kag...
@ cutebumblebee
huaaaaaaaaaaa.....
@ ilham maulana
saya ikut setuju kang.. heeee

Cebong Ipiet mengatakan... @ 26 Februari 2009 pukul 09.27

brati aku musti vote mas senoaji wkekkwkekwkewk

Anonim mengatakan... @ 26 Februari 2009 pukul 18.26

hari gini masih sok mriyayi, ke laut aja...

admin mengatakan... @ 27 Februari 2009 pukul 12.21

@ Cebong Ipiet
huaaaaaaaaaaa.....
@ sibaho
benar bang .. setuju...

Anonim mengatakan... @ 27 Februari 2009 pukul 13.34

Kalau dilihat dari status sosial memang seorang pejabat memiliki status yang tinggi, sementara masyarakat yang harus dilayaninya justru berstatus sosial lebih rendah.

Berarti Pejabat tidak lagi menjadi pelayan masyarakat dong, malah sebaliknya; minta dilayani rakyat.

Mengenaskan.

Anonim mengatakan... @ 28 Februari 2009 pukul 06.24

udh lama ngga main kesini mas, tapi sy ngikutin terus kok dan masih follow blog ini..baca terus dari google reader..

Anonim mengatakan... @ 28 Februari 2009 pukul 21.33

lah emang dr warisan Belanda emang sudah begitu Kang....hehehe

admin mengatakan... @ 2 Maret 2009 pukul 22.38

@ deden
sangat mengenaskan bang...
@ Yusa
iya mas saya juga mas...
@ gus
wah parah yang bang ternyata dari warisan belanda..

Posting Komentar