Oleh Harry Kawilarang
Pada November 1917, di Universitas Leiden, Belanda berlangsung kongres mahasiswa asal Hindia Belanda. Dibahas 3 agenda: a) menciptakan kerja sama dan meningkatkan komunikasi sesama pelajar/mahasiswa asal Hindia Belanda yang belajar di Belanda, b) meningkatkan pendalaman pengetahuan tentang Indonesia di kalangan peminatnya, c) mewujudkan rasa simpati dan semangat meminati masalah Indonesia di kalangan masyarakat Belanda.
Sasaran utama kongres menjajagi pemersatuan masyarakat asal Hindia Timur sebagai bangsa di tengah masyarakat bangsa-bangsa di dunia. Selama ini sebutan bagi wilayah nusantara dan penduduknya terasa ganjil, Hindia Timur atau Hindia Belanda.
Tiga pembicara dalam pertemuan itu adalah Dahlan Abdoellah, asisten dosen Universitas Leiden mewakili Persatuan Mahasiswa Hindia Timur, Han Tiauw Tjong, mewakili organisasi masyakarat China Hindia Timur, dan Humbertus van Mook, Ketua Asosiasi Indologi dan mewakili kelompok nonpribumi yang menetap di Hindia Timur.
Kongres itu pertama kali diadakan oleh pelajar/mahasiswa asal Indonesia yang belajar di Belanda. Yang menjadi pokok bahasan pada kongres itu adalah mewujudkan suatu bangsa di gugusan kepulauan nusantara. Abdoellah mempermasalahkan konstitusi di Hindia Timur dimana sebenarnya masyarakat pribumi (mayoritas) memiliki hak yang lebih besar untuk berperan di administrasi pemerintahan.
Gerakan Nasionalisme
Ia mencontohkan gerakan nasionalisme Boedi Oetomo, Syarikat Islam, dan Indische Partij yang berkembang pesat dan menuntut hak otonomi yang lebih luas untuk memperbaiki taraf hidup sosial masyarakat di koloni Belanda. Ia mengecam pemerintah kolonial yang tetap saja mendominasi dan memonopoli kekuasaan dan sama sekali tidak memberi peluang kepada Dewan Rakyat (Volksraad) untuk berpartisipasi memperbaiki kondisi sosial masyarakat banyak.
Dahlan Abdullah mengimbau semua mahasiswa/pelajar, tak terkecuali turunan Belanda dan China yang lahir dan besar di Hindia Timur untuk memperjuangkan kebebasan yang lebih luas bagi penduduk pribumi yang taraf hidup dan pendidikannya sangat terkebelakang.
Wakil dari Chung Hwa Hui, mengharapkan keturunan China jangan dikucilkan dari lingkungan masyarakat pribumi, Indo ataupun Belanda. Keturunan China juga diperlakukan sebagai partner dalam mewujudkan pembangunan bangsa.
Sedang van Mook mengemukakan pemerintahan kolonial Belanda harus memperhatikan kesejahteraan masyarakat Hindia Timur. Hukum dan ketenteraman harus ditegakkan sebagai dasar bagi terwujudnya pembangunan. Van Mook juga menyinggung kemerdekaan yang harus diberlakukan bagi negeri jajahan.
Isu Kemerdekaan 1819
Pemerintahan Hindia Belanda sepenuhnya di bawah kepemimpinan ”Belanda-Totok”. Orang Belanda asli yang lahir di Belanda yang boleh memerintah. Yang lahir di negeri jajahan, tidak boleh jadi pemimpin eksekutif ataupun penentu kebijakan.
Ini yang dialami van Mook. Kedua orang tuanya Belanda asli (guru). Tapi puteranya, Humbertus Johannes van Mook, karena lahir di Semarang (30 Mei 1894), maka ia tidak diberlakukan sebagai orang Belanda, dan kena diskriminasi. Ia hanya boleh menjabat Letnan Gubernur Jenderal, sedangkan posisi Gubernur Jenderal harus asli dan lahir di Belanda.
Praktik diskriminasi itu membangkitkan semangat orang Belanda kelahiran Indonesia, terutama mahasiswa/pelajar yang belajar di Belanda untuk memperjuangkan persamaan hak. Fakultas Indologi di Universitas Leiden menjadi pusat kegiatan pemikir-pemikir peduli Indonesia. Banyak pengajar di fakultas itu turut memercikkan benih kemerdekaan Hindia Belanda, di antaranya Snouck Hurgonje, Van Vollenhoven, Hazeu, dan Carpentier Alting.
Dalam pandangan mereka kolonialisme tidak akan kekal. Mereka menginginkan terjalinnya hidup harmonis, penduduk pribumi diberi peluang lebih besar, dikembangkan dan ditingkatkan pendidikannya, hingga tercipta masyarakat pluralistik multietnik di bawah satu ikatan kebangsaan di gugusan nusantara itu.
Isu kemerdekaan Hindia Belanda pernah didengungkan tahun 1819 oleh anggota parlemen Belanda, G.K. Hogendorp. Tokoh gerakan kemerdekaan ketika Belanda dijajah Prancis (masa Perang Napoleon) itu mengatakan di depan Parlemen Belanda bahwa koloni di gugusan kepulauan akan merdeka, kendati masih lama.
Menurut Hogendorp, bila terjadi ”itu justru mendatangkan kebaikan untuk kita juga ketimbang sekarang ini sebagai pemilik koloni. Generasi kita di masa datang, yang kian dewasa, sama sekali tidak ingin memerangi koloni-koloni yang menuntut kemerdekaan. Justru mereka akan mendukungnya dan akan menjalin hubungan yang saling menguntungkan”.
Harry Kawilarang, mantan wartawan Sinar Harapan
[8/17/2008 01:53:00 PM
|
0
komentar
]
0 komentar
Posting Komentar