Oleh Dr Asvi Warman Adam
Pelurusan sejarah, berarti menjadikan sejarah yang dulu seragam menjadi beragam. Bila dulu hanya ada satu versi mengenai Gerakan Tiga Puluh September 1965 (G30S), kini muncul berbagai versi. Selama Orde Baru hanya dikenal dan diperbolehkan satu versi: Partai Komunis Indonesia (PKI) adalah dalang G30S.
Namun, terbitnya buku-buku yang ditulis tokoh kiri seperti Kolonel Latief dan Sulami Sekretaris Gerwani, memperkuat alasan untuk meragukan versi pemerintah. Mereka mengaku disiksa sebelum dan sesudah masuk penjara. Dari proses pemeriksaan yang penuh siksaan, tentu hanya dihasilkan laporan dan persidangan yang disampaikan secara terpaksa meski tidak benar demikian. Padahal, alasan utama menganggap PKI sebagai dalang G30S adalah pengakuan tokoh-tokoh kiri itu.
Maka, muncul versi lain yang sebetulnya sudah terbit di luar negeri, hanya saja belum bisa beredar di Indonesia semasa Soeharto berkuasa. Misalnya pendapat dua ilmuwan Cornel University-AS, Benedict R Anderson dan Ruth Mc Vey, bahwa peristiwa G30S merupakan puncak konflik intern di tubuh Angkatan Darat. Harold Crouch mengatakan, menjelang tahun 1965, SUAD (Staf Umum Angkatan Darat) pecah menjadi dua faksi. Kedua faksi ini sebetulnya sama-sama anti-PKI, tetapi berbeda sikap dalam menghadapi Presiden Soekarno. Yang pertama adalah "faksi tengah" yang loyal terhadap Presiden Soekarno, dipimpin Men/Pangad Letjen A Yani, hanya menentang kebijakan Soekarno tentang persatuan nasional, dimana PKI termasuk di dalamnya. Kelompok kedua, "faksi kanan" bersikap menentang kebijakan Yani yang bernapaskan Soekarnoisme. Dalam faksi ini ada Jenderal Nasution dan Mayjen Soeharto. Menjelang tahun 1965, Soekarno mencium faksionalisme itu dan mulai memecah belah kedua kubu itu.
Peristiwa yang berdalih menyelamatkan Soekarno, sebenarnya ditujukan bagi perwira-perwira utama dalam "faksi tengah". Dengan demikian, menurut Cornel Paper, akan melapangkan jalan bagi perebutan kekuasaan oleh kekuatan sayap kanan AD. Selain mendukung versi itu, WF Wertheim menambahkan, Syam Kamaruzaman yang dalam buku Putih Sekneg disebut sebagai Kepala Biro Chusus Central PKI adalah "agen rangkap" yang bekerja untuk Aidit dan AD. Bukan hanya lembaga dan kelompok, pribadi tokoh pun dikaitkan dengan peristiwa itu. Menurut Antonie Dake dan John Hughes, Presiden Soekarno terlibat dalam intrik itu. Menurut mereka, G30S adalah skenario yang disiapkan Soekarno untuk melenyapkan oposisi sebagian perwira tinggi AD. PKI ikut terseret akibat amat tergantung kepada Soekarno. Belakangan, pejabat yang disoroti punya andil dalam gerakan itu adalah Jenderal Soeharto sebagaimana dituduhkan oleh bekas anak buahnya, Kolonel Latief.
Keterlibatan CIA
Di luar negeri, seperti di AS dan Inggris, perkembangan sejarah "yang gelap" itu cukup menggembirakan, karena setiap periode (25-30 tahun) ada arsip-arsip yang boleh dibuka untuk umum (declassified). Dengan demikian, dari waktu ke waktu senantiasa muncul data-data baru misalnya mengenai keterlibatan Pemerintah AS dan Inggris (terutama dinas rahasia CIA dan M16) dalam kasus tahun 1965. Seperti terlihat dalam dokumen mengenai politik luar negeri AS tahun 1964-1968 mengenai Indonesia, Malaysia, dan Filipina yang sempat dipasang pada salah satu situs Internet.
Sebagai konsekuensi dari perang dingin antara blok kapitalis dengan blok komunis, AS-saat itu menghadapi Vietnam Utara yang dibantu Uni Soviet-berkepentingan agar Indonesia tidak jatuh ke tangan kelompok kiri. CIA membantu dengan berbagai cara dan pengucuran dana, segala usaha untuk menghancurkan PKI. Dalam dokumen itu terungkap bantuan yang diberikan pihak AS sebanyak Rp 50 juta (?) kepada KAP (Komite Aksi Pengganyangan) Gestapu melalui perantaraan Adam Malik. Sebagaimana diketahui, KAP Gestapu dipimpin Subchan ZE (almarhum) dari NU dan Harry Tjan Silalahi (Katolik).
Menurut David T Johnson (1976), ada enam skenario yang dapat dijalankan Amerika Serikat dalam menghadapi situasi yang memanas di Indonesia menjelang tahun 1965: 1) Membiarkan saja, 2) Membujuk Soekarno mengubah kebijakan, 3) Menyingkirkan Soekarno, 4) Mendorong Angkatan Darat mengambil alih kekuasaan, 5) Merusak kekuatan PKI, 6) Merekayasa kehancuran PKI sekaligus kejatuhan Soekarno. Ternyata skenario terakhir yang dianggap paling menguntungkan dan tepat untuk dilaksanakan.
Indikasi keterlibatan pemerintah/Dinas Rahasia Inggris dan Australia juga ada. Namun, hal itu lebih tampak setelah peristiwa G30S. Pihak Inggris membantu propaganda untuk menghancurkan PKI. Dalam buku Roland Challis (2001)-koresponden BBC yang berkedudukan di Singapura dan sering ke Jakarta menjelang peristiwa G30S-terungkap, tahun 1962 sudah ada komitmen antara Presiden AS John F Kennedy dengan Perdana Menteri Inggris Harold Macmillan bahwa Soekarno mesti di-"likuidasi". Tentara AL Inggris yang berbasis di Singapura siap membantu Pemerintah Indonesia untuk menghadapi ancaman jatuhnya Indonesia ke tangan komunis.
Menurut Mike Head (1999) "peran Australia adalah sama aktifnya dengan peran Pemerintah AS, meski skalanya lebih kecil. Dalam telegram yang dikirim dari dan ke kedutaan Australia di Jakarta, tercermin sikap bahwa Soeharto "harus bersikap lebih keras untuk menghancurkan semua dukungan bagi PKI".
Aspek Lokal dan Kodam Diponegoro
Tulisan Coen Hotzappel (dalam Journal of Contemporary Asia, vol 2, 1979) dapat dipandang dalam konteks skenario nomor 6 yang dikemukakan David T Johnson di atas. Operasi G30S dilakukan oleh tiga pasukan yaitu Pasopati, Pringgodani (dalam versi sejarah resmi disebut Gatotkaca), dan Bimasakti. Penculikan para jenderal dilakukan oleh pasukan Pasopati. Setelah itu mereka diserahkan kepada pasukan Pringgodani yang mengoordinir kegiatan di Lubang Buaya, sedangkan pasukan Bimasakti bertugas menguasai RRI, Telekomunikasi, dan teritorial.
Bersumberkan hasil pengadilan Untung dan Nyono, Coen Hotzappel mencurigai kegiatan pasukan Pringgodani yang melaksanakan kegiatan kudeta yang memang dirancang untuk gagal. Pembunuhan beberapa Jenderal yang belum semuanya tewas di Lubang Buaya dilakukan oleh pasukan Pringgodani. Gugurnya para perwira tinggi AD itu menyebabkan Presiden Soekarno tidak mau mendukung gerakan itu dan memerintahkan kepada Brigjen Suparjo untuk menghentikan operasinya. Coen menuding Sjam dan Mayor Udara Sujono sebagai tokoh sentral yang mengendalikan pasukan Pringgodani itu. Plot yang tidak matang itu menyebabkan G30S dapat ditumpas dengan cepat dan kemudian PKI yang dianggap sebagai dalang kudeta itu dihancurkan, sedangkan Soekarno yang tidak mau mengutuk PKI dijatuhkan.
Analisis Soebandrio juga menarik. Ia melihat keterlibatan Soeharto melalui dua kategori (bekas) anak buahnya di Kodam Diponegoro. Pertama, Letkol Untung dan Latief yang akan menghadapkan Dewan Jenderal kepada Presiden Soekarno (dan ini sepengetahuan Soeharto). Kedua, Yoga Sugomo dan Ali Murtopo, yang dulunya berjasa (melakukan manuver dan operasi intelijen) untuk menjadikan Soeharto sebagai Panglima Kodam Diponegoro. Yoga Sugomo ditarik Soeharto ke Jakarta untuk menjadi Kepala Intel Kostrad pada Januari 1965 ketika sedang bertugas sebagai atase militer di Yugoslavia.
Yang terjadi kemudian, peristiwa 1 Oktober 1965 yang sudah sama-sama diketahui umum. Yang menarik adalah trio pertama (Soeharto-Untung-Latief) yang dirancang untuk dikorbankan, sedangkan yang dipakai selanjutnya adalah trio kedua (Soeharto-Yoga Sugomo-Ali Murtopo). Kedua trio itu berasal dari Kodam Diponegoro. Letkol Untung sampai akhir hayat tidak yakin bahwa ia akan dieksekusi seperti dituturkannya kepada Soebandrio di Penjara Cimahi. Ia merasa Soeharto adalah bekas atasannya dan yang dianggap sebagai kawan dalam peristiwa G30S. Latief juga bekas bawahan Soeharto yang merasa dikhianati seperti terungkap dalam buku pledoi sekaligus memoarnya.
Soebandrio menyimpulkan, rangkaian peristiwa dari 1 Oktober 1965 sampai 11 Maret 1966 sebagai kudeta merangkak yang dilakukan melalui empat tahap. Tahap pertama, menyingkirkan saingannya di Angkatan Darat seperti Yani dan lain-lain. Tahap kedua, membubarkan PKI yang merupakan rival terberat tentara sampai saat itu. Tahap ketiga, melemahkan kekuatan pendukung Bung Karno dengan menangkap 15 Menteri yang Soekarnois, termasuk Soebandrio. Tahap keempat, mengambil alih kekuasaan dari Presiden Soekarno.
Penjelasan Teoritis
Mengapa sampai terjadi beberapa versi sejarah? Jawaban yang sedikit teoritis pernah dikemukakan antara lain oleh sejarawan Perancis, Paul Veyne, dalam buku Comment on icrit l'histoire (1971). Katanya, seperti sebuah roman, sejarah bisa mengemas satu abad dalam dua halaman, bisa pula dalam seribu pagina. Sejarah itu subyektif, ia adalah proyeksi dari nilai-nilai yang kita anut dan jawaban dari pertanyaan yang kita ajukan. Bila tukang jahit bisa mengukur baju, sejarawan tidak bisa mengukur peristiwa. Peristiwa tidak punya ukuran mutlak. Satu peristiwa bisa dianggap lebih penting dari yang lain oleh sejarawan, tergantung kriteria yang ditetapkan.
Peristiwa itu tidak hadir seperti butir-butir pasir. Peristiwa itu tidak berdiri sendiri dan terisolasi. Peristiwa itu bukan makhluk tetapi persilangan rute/ trayek. Peristiwa itu bukan benda. Peristiwa adalah potongan realitas yang kita tangkap dari substansi (manusia, benda) yang berinteraksi. Bila melihat sebuah kubus, kita tidak dapat melihat semua sisinya sekaligus. Tetapi, kita dapat melipatgandakan sudut pandang ini dengan memutarnya. Peristiwa itu bukan totalitas tetapi simpul dari jaringan.
Sejarah-seperti dikatakan Paul Veyne-adalah penceritaan mengenai peristiwa dan bukan peristiwa itu sendiri. Peristiwa itu sendiri tidak bisa "diraih" oleh sejarawan secara langsung dan utuh. Ia selalu tidak lengkap dan hanya di permukaan (lateral). Dilacak melalui jejak (tekmeria). Diperlukan dokumen dan kesaksian dari para pelaku. Meski kita menyaksikan suatu peristiwa dengan mata kepala sendiri, kejadian itu tetap tidak terliput secara keseluruhan. Itu sebabnya terdapat berbagai versi dalam sejarah. Apa yang dilakukan dari versi yang beragam itu? Tugas sejarawan kadangkala ibarat dokter, seperti pernah dikatakan Marc Ferro. Ia melakukan diagnosa. Berbagai versi itu termasuk bagian dari diagnosa. Sang dokter berusaha menyimpulkan, artinya membuat sintesa dari berbagai versi tadi dan mengeluarkan pendapat.
Kasus G30S kita jadikan contoh. Kita tahu, gerakan ini menyebut diri sebagai Gerakan Tiga Puluh September. Karena itu lebih obyektif bila peristiwa itu disebut sebagai G30S, bukan Gestapu dan bukan pula Gestok. Ada beberapa fakta yang dapat diterima.
Pertama, yang diculik adalah perwira militer (khususnya Angkatan Darat). Yang menculik berasal dari resimen Cakrabirawa yang juga berasal dari unsur Angkatan Darat. Beberapa pimpinan PKI (dalam hal ini Biro Chusus) seperti Aidit dan Sjam, dipercaya terlibat dalam gerakan itu. Sjam sendiri masih misterius, apakah dia double agent (AD dan Biro Chusus PKI) bahkan triple agent (AD, Biro Chusus PKI, dan CIA)? Beberapa dinas rahasia asing juga berperan seperti CIA. Pada tingkat lokal, Kodam Diponegoro, Jawa Tengah, merupakan kodam yang paling "terlibat" G30S. Para pelaku dan pemberantas gerakan ini paling banyak berasal dari Kodam ini. Dari data yang sudah terterima, dibuat narasi tentang peristiwa G30S.
Namun, itu saja tidak cukup. Sebuah peristiwa juga memiliki unsur kausalitas, hubungan sebab-akibat. Kondisi nasional sebelum 30 September 1965 menjadi latar belakang meletusnya gerakan ini. Saat itu Indonesia mengalami krisis ekonomi, sosial, dan politik yang parah. Dalam konteks internasional, sedang berkecamuk perang dingin. AS berkepentingan agar Indonesia tidak jatuh ke tangan komunis.
Tragedi tahun 1965 tidak berhenti sampai 1 Oktober 1965, tetapi berkelanjutan sampai masa Orde Baru, karena dampak langsung peristiwa ini adalah pembantaian massal tahun 1965/1966 dan penahanan politik di Pulau Buru (tahun 1969-1979). Mengungkapkan rangkaian peristiwa secara utuh juga merupakan bagian dari pelurusan sejarah.
Dr Asvi Warman Adam Sejarawan LIPI.
[9/11/2008 10:56:00 AM
|
1 komentar
]
1 komentar
memang banyak sekali sejarah indonesia yang dimanipulasi oleh orde baru
Posting Komentar