Oleh Asvi Warman Adam
TRAGEDI 1965 tidak pernah ditulis dalam sejarah Indonesia secara utuh. Tulisan yang terdapat dalam buku Sejarah Nasional yang disunting Nugroho Notosusanto, lalu dijadikan acuan pengajaran sejarah di sekolah, hanyalah serpihan peristiwa dalam perspektif penguasa. Karena itu, Presiden Megawati beberapa waktu lalu meminta Menteri Pendidikan Nasional untuk menyusun buku tentang Peristiwa 1965 secara komprehensif.
Mendiknas mewujudkannya dalam bentuk proyek pada Direktur Jenderal (Dirjen) Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) yang dimulai sejak tahun 2004. Sejarawan Taufik Abdullah bertindak sebagai penanggung jawab, dibantu AB Lapian, Anhar Gonggong, Susanto Zuhdi dan I Ketut Ardhana (sebagai koordinator). Mereka dibantu 25 orang tim peneliti lapangan.
Karena penulisan buku itu adalah instruksi Kepala Negara, seyogianya dianggap sebagai tugas nasional. Artikel ini mencoba memberi masukan agar tercapai tujuan pengungkapan Tragedi 1965 sebagaimana diharapkan.
Sementara itu, sehubungan dengan rencana buku ini oleh Dirjen Dikdasmen-yang akan digunakan sebagai buku teks di sekolah-Pusat Kurikulum Balitbang Depdiknas telah membuat kemajuan signifikan, antara lain seperti terlihat dalam Kurikulum 2004 (mudah-mudahan tidak mengalami perubahan lagi) untuk pengajaran sejarah tingkat SMU. Pertama, percobaan kudeta itu disebut sebagai G30S (Gerakan 30 September) 1965 tanpa embel-embel PKI.
Kedua, akan diajarkan berbagai versi tentang G30S/1965. Ketiga, tidak lagi ditonjolkan "Penumpasan G30S/PKI", namun diganti dengan "Dampak Sosial-Politik-Ekonomi dari Peristiwa 65".
Arti peristiwa 65
Peristiwa 1965 merupakan tonggak sejarah yang amat penting dalam sejarah Indonesia pascakemerdekaan. Perubahan yang diakibatkannya amat drastis sekaligus menyangkut bidang politik, ekonomi, dan sosial. Indonesia yang pada era Soekarno terkenal sebagai pemimpin dunia ketiga yang berani menantang AS dan Inggris (nekolim) secara tiba-tiba tunduk kepada dominasi AS. Ekonomi berdikari yang dicanangkan Soekarno berganti ekonomi pembangunan sesuai resep Barat.
Secara sosial, kaum komunis tersingkir dari kehidupan sosial-politik dan mengalami diskriminasi dalam berbagai bidang kehidupan. Peristiwa itu membawa militer di bawah pimpinan Soeharto ke puncak kekuasaan. Buku tentang 1965 sudah cukup banyak, terutama yang ditulis oleh orang asing. Yang ditulis oleh orang Indonesia paling sedikit tercakup dalam tiga disertasi, yaitu Iwan Gardono Sudjatmiko, Hermawan Sulistyo, dan yang terbaru Budiawan di National University of Singapore tahun 2003.
Iwan membahas penghancuran PKI di Jawa dan Bali tahun 1965 dari sudut sosiologi. Hermawan Sulistyo menguraikan pembantaian di Kediri dan Jombang tahun 1965. Budiawan membahas sikap korban 1965 terhadap aksi antikomunis yang sempat marak setelah reformasi. Arsip dalam negeri yang dapat digunakan memang amat terbatas. Tetapi, sudah ada beberapa arsip KOTI, SOBSI, dan lain-lain yang telah diserahkan kepada Arsip Nasional RI (ANRI).
Di luar arsip tertulis, sejarah lisan dapat membantu. Ada beberapa yayasan yang telah melakukan penelitian sejarah lisan 1965, seperti IISH Amsterdam, Yayasan Lontar, dan Tim Relawan untuk Kemanusiaan. Khusus yang terakhir, mereka mewawancarai 246 orang di Sumatera, Jawa, Bali, dan Sulawesi (dari transkrip ini disusun sebuah buku yang bakal terbit Januari 2004).
Trilogi
Menurut hemat saya, G30S merupakan trilogi, yaitu pertama, peristiwa G30S dengan segala versinya; kedua, pembantaian 1965; dan, ketiga, pembuangan ke Pulau Buru. Tentu saja dapat dimasukkan ke dalam kategori ketiga ini, penderitaan orang-orang Indonesia eksil di Eropa, Cina, Rusia.
Oleh karena itu, pembabakan penelitian ini bisa disusun sebagai berikut, setelah membahas latar belakang ekonomi dan sosial-politik dalam negeri dan internasional sebelum G30S/1965, bab berikut mengulas berbagai versi tentang G30S/1965.
Lalu dilanjutkan pembunuhan massal tahun 1965/1966 di Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Sumut, Sulawesi Utara, dan NTT yang memakan korban minimal 500.000 jiwa. Pada bab berikutnya diuraikan penderitaan tahanan politik golongan B lebih dari 10.000 orang yang dibuang ke Pulau Buru (1969-1979). Setelah itu dijelaskan tentang pengucilan ribuan orang kaum eksil Indonesia di Cina, Rusia, Eropa Barat dan Timur.
Bab-bab lain mengenai aspek hukum (menyangkut diskriminasi) yang menimpa korban peristiwa 1965 dan keluarganya (TAP MPRS XXV/1966, Permendagri 1981, Peraturan KTP seumur hidup, Undang-Undang Pemilu, dan lain-lain). Dimensi psikologi dapat dibicarakan dalam bab berikut terutama mengenai trauma yang dialami para korban 1965. Perlu dibuat pula bab-bab mengenai rehabilitasi dan rekonsiliasi serta hambatan terhadap kedua hal itu (yang secara potensial datang dari sebagian kalangan Islam dan militer). Karena koordinator penulisan ini adalah Dr I Ketut Ardhana, diharapkan pembantaian tahun 1965/1966 yang paling sedikit memakan korban 80.000 di Pulau Dewata dapat dijelaskan secara utuh. Peristiwa berdarah itu sampai hari ini masih sangat sensitif di Bali karena pelaku dan korban kebanyakan berasal dari dalam keluarga sendiri.
Mayat korban dikuburkan di tempat-tempat yang kini di atasnya sudah berdiri hotel-hotel megah. Gubernur Bali pada waktu peristiwa itu, Suteja, masih dinyatakan sebagai orang hilang sampai sekarang. Mudah-mudahan buku yang diinstruksikan oleh Presiden Megawati itu dapat mengungkap kebenaran sejarah.
Asvi Warman Adam Doktor Sejarah
[9/11/2008 11:05:00 AM
|
0
komentar
]
0 komentar
Posting Komentar