Oleh Mohamad Sobary
Di dalam pekarangan yang menyerupai sebuah tegalan, di dekat kandang kambing dan kandang lembu, di sebuah desa di pinggiran Kota Semarang, malam itu berlangsung pentas drama yang tak lazim. Para penonton duduk bebas di atas tanah, di atas batu-batu, atau di atas alas plastik, dan koran yang ditebar begitu saja.
Mereka terdiri dari penduduk desa setempat, para aktivis, dosen, mahasiswa, dan wartawan. Ada pula tamu-tamu dari Jakarta yang kelihatan terlalu "kota" untuk bisa menyatu segera dengan lingkungan macam itu. Selebihnya, ada dua orang asing yang sangat antusias, tetapi jelas merasa ruwet untuk memahami apa yang terjadi.
Saya pun ada di antara mereka. Lampu-lampu listrik yang dipasang di sana-sini itu seolah kebetulan saja bisa menyala remang-remang. Tak semua bagian mendapat penerangan. Tapi mungkin di situlah letak "seni"-nya pertunjukan malam itu.
Dan kami pun diam-diam bertanya di mana panggung drama ini nanti? Pekarangan itu terletak di pinggir sungai kecil. Semak belukar tampak seperti rimba di sepanjang tanggul sungai di belakang kami. Ini semua mempertegas bahwa kami tidak sedang berada di sebuah pusat kesenian.
Saya menanti dengan berdebar apa yang akan disuguhkan Mas Bawor, ketua Lembaga Bantuan Hukum Semarang, dan rombongannya, para seniman yang punya ide-ide segar untuk mengadakan pertunjukan di alam bebas ini.
Tanpa tanda-tanda bahwa drama akan segera dimulai, tiba-tiba terdengar dari kandang lembu itu suara:
"Mooo…," meniru lembu melenguh.
Kontan para penonton memandang ke arah datangnya suara itu. Dan, mooo, sekali lagi. Lalu tampak dalam keremangan di balik bayangan pohon orang merangak-rangkak. Badannya dicat putih dengan loreng-loreng hitam seperti lembu. Ia seorang laki-laki yang hanya mengenakan celana dalam.
Di belakangnya ada seekor lagi yang juga melenguh, mooo. Lalu muncul satu lagi, satu lagi, satu lagi.
Binatang-binatang itu berkomunikasi dengan mooo belaka. Dan kita sudah merasa senang karena bunyi apa lagi yang bisa diharapkan dari lembu selain suara alaminya, mooo tadi?
Tapi inilah kejutan berikut, yang membuat semua penonton kontan ketawa terbahak-bahak: ketika terdengar lagi di sisi kiri mooo di kanan mooo dan kemudian tiba-tiba ada yang melenguh: mooo… ntok.
Lalu muncul adegan lembu kawin. Kemudian ada saingan antara jantan satu dan jantan lain seperti layaknya dalam kehidupan binatang yang tak memiliki undang-undang atau tata krama yang harus mereka taati.
Lembu-lembu itu hidup dan berkeliaran bukan di panggung, melainkan di tanah lapang di mana ada gundukan tanah, ada batu, dan semak-semak. Itulah "panggung" mereka. Dan panggung itu bukan hanya "wilayah" di depan penonton, melainkan juga yang jauh di belakang, di tanggul sungai dalam gelap alam asli.
Gembalanya seorang remaja putri. Ia hanya sendirian. Di akhir pertunjukan itu si gembala mencari seekor lembunya yang hilang. Tapi ia memutuskan tak akan lapor polisi karena kalau ia lapor, bukan hanya satu yang hilang, melainkan dua, atau bahkan tiga.
Dan drama pun berakhir. Dan orang bertepuk tangan meriah. Dan tiba-tiba saya disuruh memberi komentar atas pertunjukan itu.
Lembaga Bantuan Hukum Semarang sudah lama berpasangan dengan Partnership, kantor yang saya pimpin, untuk memerangi mafia peradilan di Jawa Tengah. Program ini mentereng sekali.
Mas Bawor gigih bicara hukum, penyimpangan hukum, penindasan atas orang-orang lemah dengan menggunakan hukum, dan hak-hak hukum rakyat, di tengah dan bersama warga desa-desa yang lugu dan baik hati tapi sering ditindas.
Ia kreatif. Pendekatannya tidak konvensional, dengan ceramah atau propaganda, melainkan juga dengan seni. Siangnya ia mengundang dalang wayang kulit, yang di dalam pentasnya terselip "penyuluhan" dan "penyadaran" yang sungguh "nyeni". Malamnya kami disuguh drama tersebut.
Apa arti drama ini bagi saya? Ini jenis drama mini, kata yang dipelopori Rendra lebih tiga puluh tahun lalu. Ketika di dunia politik di masa Orde Baru kata-kata kehilangan makna, ia menyindir tajam lewat gerak tanpa kata, tetapi lebih sarat makna.
Begitu juga drama "lembu-lembu" malam itu. Ini sindiran terhadap mafia peradilan. Secara simbolik drama itu bermaksud menyatakan, lembaga peradilan, tempat para ahli hukum mengembangkan keahlian mereka, pada dasarnya merupakan gambaran dunia "bawah" yang gelap gulita.
Lembaga peradilan itu pendeknya dunia binatang. Para ahli hukum menipu dengan hukum, menindas dengan hukum, dan menghancurkan masyarakat dengan hukum. Mereka pun memberi makan anak-istri atau suami dari hasil penipuan dan penindasan itu.
Seperti gambaran para mafioso dalam novel dan film-film Amerika, para ahli hukum itu pun hidup dalam kegelapan jiwa yang mewah dengan harta, tapi jauh dari berkah dan ketenteraman.
Hukum itu mahkota bangsa. Tapi mereka injak-injak. Dan Mahkamah Agung membisu bagai batu. Tokoh-tokoh di sana sibuk menunjuk diri sendiri untuk menempati jabatan sampai "gaek". Mereka tak mau dikontrol.
Maka, praktis hanya Tuhan yang mengawasi dan membiarkan mereka bebas seperti mooo dalam drama di sebuah kampung di Semarang, malam itu.
gambar kucingnya ku dedikasikan buat kucingnya
gadis pantai yang pintar ini
[10/09/2008 03:21:00 PM
|
0
komentar
]
0 komentar
Posting Komentar