| 0 komentar ]

Oleh Suka Hardjana

Ketika pertama kali membaca berita media tentang adanya mafia peradilan di Indonesia, saya benar-benar miris dan ngeri. Yang bikin ngeri rasa takut bukan hal peradilan itu sendiri, tetapi tentang Mafia. Saya bertanya-tanya dalam hati, benarkah Mafia telah masuk ke Indonesia? Sejak kapan? Siapa bosnya? Bagaimana kegiatan organisasinya?

Untung—walaupun permasalahannya sudah cukup gawat—ternyata ’belumlah’ sengeri yang saya pikirkan. Artinya, seruwet apa pun—bila yang berwajib serius dan mau menangani dengan sungguh-sungguh—sebenarnya mafia peradilan di Indonesia itu masih bisa diberantas. Soalnya, apa yang disebut mafia peradilan di Indonesia itu ternyata bukan mafioso. Mereka cuma tikus-tikus rakus kecil yang sesungguhnya bisa diberantas oleh sistem kekuasaan yang bersih dan berwibawa, berani dan konsisten mengabdi kepada keadilan bagi rakyatnya. Masih ada banyak kesempatan untuk memberantas tikus-tikus jorok itu, karena apa yang disebut mafia itu ternyata bukan Mafia. Tikus-tikus rakus kecil mafia peradilan itu—walaupun licin, licik dan lihai—tetapi belum seganas Mafia yang sesungguhnya. Bila mafia di Indonesia memang Mafia yang sesungguhnya, sudah pasti semua orang akan benar-benar dibikin repot olehnya. Kita memang suka bikin istilah-istilah aneh seenaknya yang bertolak dari ketidakpahaman yang kemudian menimbulkan kesalahkaprahan kolektif tentang suatu pengertian.

Sesungguhnya, Mafia adalah sebuah organisasi politik rahasia di Italia selatan yang telah berkembang hampir dua ratusan tahun yang silam. Ia tumbuh dan berkembang dari persekongkolan kekerabatan adat dan politik kekuasaan (clan) di daerah Sicilia. Organisasi politik rahasia di Sicilia itu kemudian memiliki pengaruh kekuasaan yang sangat besar di Italia sampai abad ke-19. Pengaruh kekuasaannya mengontrol hampir semua peri laku politik, hukum, dan perdagangan di negeri itu. Pada tahun 1930-an organisasi ini nyaris dihancurkan dan dilarang oleh diktator Italia, Benito Mussolini. Tetapi pada tahun 1943 Pascaperang Dunia II organisasi rahasia ini muncul kembali dalam bentuknya yang lain.

Organisasi Mafia yang kemudian juga dikenal sebagai Costa Nostra lantas berkembang di mana-mana, terutama di Amerika Serikat. Mereka memiliki jaringan dan pengaruh yang sangat kuat di politik pemerintahan, perdagangan, hukum dan tindak-tindak ilegal di luar hukum publik. Organisasi ini kemudian menjadi contoh model berbagai sindikasi kelompok tindak kejahatan terorganisasi di Jepang, Korea Selatan, Hongkong, Vietnam, dan sebagainya. Geng-geng kriminal seperti Yakuza di Jepang atau Vientien di Vietnam inilah yang kemudian disalahartikan sebagai mafia. Mereka bukan Mafia asli Sicilia.

Lantas bagaimana dengan tikus-tikus rakus kecil mafia peradilan di Indonesia yang sering diisukan di berbagai media itu? Walaupun mafia Indonesia itu bukan Mafia, tetapi tetap harus diberantas sebagaimana orang memberantas tikus. Sebab mereka itu rusuh, rakus seperti tikus yang bikin rusak tatanan hukum, keadilan, dan kesejahteraan orang banyak.

Walaupun tak sedahsyat Mafia, tetapi mafia-mafia Indonesia itu juga sangat berbahaya. Sebenarnya mafia di Indonesia itu bukan hanya mafia peradilan saja. Menurut laporan media ada banyak sekali jenis mafia siluman di Indonesia. Ada mafia perpajakan, mafia pelabuhan, mafia pabean bea dan cukai, mafia perizinan, mafia perdagangan perempuan dan anak-anak, mafia TKI, mafia PRT, mafia perjudian, mafia perdagangan narkoba dan psikotropika, mafia penculikan politik, mafia penculikan anak-anak, mafia pembalakan hutan, mafia perfilman, mafia pembajakan hak cipta, mafia persepakbolaan, mafia pendidikan, mafia penggelapan perpajakan dan penerimaan uang negara, mafia uang palsu, mafia ijazah aspal, mafia jalan tol, mafia proyek-proyek, mafia kepangkatan dan jabatan, mafia parlementaria, mafia RUU-Perpu-Perda dan "per-per" lainnya, yang intinya adalah mafia bisnis perdagangan peraturan.

Ringkasnya, masih banyak mafia lainnya di Indonesia yang barangkali Anda bisa sebutkan sendiri di luar daftar yang dapat disimak dari laporan-laporan media. Kebhinekaan mafia-mafia di Indonesia pada dasarnya bukan Mafia, tetapi persekongkolan sindikasi (syndicate) tindak ilegal dan kejahatan publik yang menjadi pangkal penyakit sosial. Mark up, korupsi, manipulasi, kolusi, dan lain-lainnya hanyalah variabel teknik pelanggaran hukum publik yang sesat.

Perilaku cacat hukum itu sesungguhnya bisa diberantas, asal—artinya dengan syarat—adanya pemerintahan yang bersih, berwibawa, berani, dan secara konsisten benar-benar ada niat mau menyejahterakan rakyatnya. Walaupun belum benar-benar bersih, tetapi belajar dari masa lalu yang dirintisnya, China, Taiwan, Korea Selatan, bahkan juga Jepang telah memberi petunjuk pengalaman yang berharga untuk disimak—mengapa mereka ada niat mau bersusah payah untuk memberantas penyakit sosial yang merugikan kepentingan orang banyak itu.

Kesulitannya adalah, kebiasaan perilaku aneh penduduk negeri ini. Makin diatur, makin dilanggar. Penyakit asosial itu seperti penyakit gatal-gatal. Semakin digaruk, semakin gatal rasanya. Makin diberantas, makin mbabrak (marak) saja itu gairah pelanggaran tatanan hukum. Agaknya kesan kecenderungan naluri perilaku animalis itu masih sangat kuat di negeri kepulauan ini. Apa itu? Kalau dilarang malah seperti disuruh. Ditarik mundur malah maju, didorong maju malah mundur. Begitulah kata para ahli psikologi animalis. Bahkan menurut para filsuf, manusia memang makhluk hewani tertinggi yang punya kecerdasan akal budi berlebih. Perilaku kosok-balen-nya (paradoks) susah ditaklukkan. Pantas saja ada semakin banyak mafia di tengah upaya penegakan hukum di negeri ini. Tikus kok dibilang mafia?

0 komentar

Posting Komentar