| 1 komentar ]

Oleh Gendhotwukir

Seringkali Buruh Migran Indonesia (BMI) di Hongkong menggelar aksi turun ke jalan dengan mengerahkan kekuatan massa yang tidak sedikit jumlahnya. Mereka ini menuntut pemerintah Hongkong menghapus kebijakan yang merugikan BMI seperti New Condition of Stay (NCS) dan Two-Week Rule (aturan dua minggu) yang dianggap diskriminatif. Agenda tuntutan juga dialamatkan ke pemerintah Indonesia melalui Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) di Hongkong yaitu agar pemerintah Indonesia berani bersikap tegas terhadap praktek biaya agen yang sangat tinggi dan agar pemerintah Indonesia mau membantu menekan pemerintah Hongkong menindak tegas setiap majikan BMI yang selama ini mempraktekkan pemberian upah di bawah standar upah minimum yang sebenarnya telah ditetapkan pemerintah Hongkong.

Bisa dikatakan, BMI Hongkonglah yang selama ini paling gemar melakukan demonstrasi menentang kebijakan-kebijakan yang menyudutkan kaum buruh, dibandingkan BMI yang bekerja di negara-negara lain. Hal demikian bukan berarti bahwa di negara-negara lain tempat BMI bekerja tidak ada kasus-kasus penindasan dan perampasan hak-hak buruh. Mereka bungkam seribu bahasa. Meski demikian, sebenarnya sejauhmana tekanan massa semacam di Hongkong ini mampu memberikan nilai positif pada tataran praksis? Sejauhmana gerakan ini mampu mematahkan dan menghancurkan kekuatan kemapanan hegemoni borjuasi atas kaum buruh di Hongkong dan membawa pencerahan baru berupa penghargaan hak-hak buruh?

Hegemoni Borjuasi di Hongkong

Kata hegemoni berasal dari bahasa Yunani Kuno yang dipakai untuk menunjuk pada kedudukan lebih kuat yang dimiliki oleh kota Athena dan kemudian Sparta (sesudah mengalahkan Athena) di antara kota-kota Yunani yang semua secara formal sama-sama berdaulat. Dalam kontek kebijakan-kebijakan yang diberlakukan bagi BMI di Hongkong ini, penulis ingin mendefinisikan kata hegemoni dalam pengertian sebuah kekuatan menguasai yang dilakukan manusia atas manusia lain. Relasi si penguasa dan yang dikuasai dalam pengertian ini tentu saja perlu dilihat secara negatif karena telah terjadi pengesampingan penghargaan hak-hak atas mereka yang dikuasai.

Borjuasi sendiri berarti golongan masyarakat yang penghasilannya melebihi penghasilan rata-rata rakyat biasa. Kelas ini disebut kelas borjuis yang biasanya dipertentangkan dengan rakyat biasa. Dalam kasus BMI Hongkong ini, kaum borjuis dan penguasa diwakili oleh para majikan, agen-agen TKI, pemerintah Hongkong dan KJRI Hongkong.

Kaum borjuis di atas mempratekkan kebijakan yang menindas kaum buruh seperti majikan yang membayar upah pekerja sektor rumah tangga di bawah standar minimum yang ditetapkan pemerintah Hongkong. Upah minimum pekerja asing sektor rumah tangga yaitu HK$ 3400, tetapi dalam prakteknya 42% dari BMI di Hongkong hanya menerima upah antara HK$ 1500-HK$ 2000. Kebijakan merugikan lainnya juga dipraktekkan oleh agen-agen tenaga kerja yang memungut biaya sangat tinggi, lebih tepatnya pemerasan. Implementasi kebijakan New Condition of Stay (NCS) oleh pemerintah Hongkong juga merugikan para pekerja yang putus kontrak. KJRI Hongkong yang terkesan sering lamban menangani aspirasi dan keluhan kaum buruh.

Praktek-praktek ketidakadilan yang memiliki ekses penindasan seperti ini tentu saja perlu ditumpas dengan gerakan-gerakan yang revolusioner.

Gerakan Revolusioner

Seorang pemikir cerdas kelahiran Sardinia bernama Antonio Gramsci (1891-1934) menawarkan sebuah gerakan revolusioner cukup menukik dalam kaitan dengan ide peruntuhan hegemoni borjuasi ini. Gramsci kecil yang sakit-sakitan karena kurang makan memang seorang yang gigih bertahan untuk hidup bersama keluarganya yang memang miskin. Gramsci muda terjun ke gerakan praksis dan ikut memperjuangkan kemerdekaan tanah kelahirannya Sardinia dari kekuasaan Italia.

Menarik bahwa selama hidupnya ia pernah mempelajari masyarakat dari perspektif perkembangannya dan tertarik dengan pemikiran Croce. Meski demikian, ia juga menjadi pengkritik Croce karena Croce tidak berani sampai pada tataran praksis dalam menguji kebenaran teorinya. Di sinilah Gramsci mencuat dengan gerakan revolusionernya. Gerakan revolusioner Gramsci yang dimaksud yaitu bahwa ia berani untuk tidak berhenti pada pemikiran demokrat-liberal teoritis seperti Croce. Gramsci berani menarik konsekuensi buat praksis revolusioner. Bagi Gramsci, hanya kelas buruhlah yang mamiliki keutamaan-keutamaan moral yang perlu untuk pembaharuan masyarakat. Pengaruh Georges Sorel terhadap Gramsci juga cukup besar terutama dalam kesatuan ide ini. Tidak mengherankan, ia juga terlibat dalam usaha pendidikan kaum buruh.

Sebagai seorang pemikir ia berhasil menelurkan ide gerakan-gerakan organik dan gerakan-gerakan konjektural. Baginya, organik berarti suatu gerakan yang didorong oleh kekuatan-kekuatan kolektif manusia di bawah sadar dan berupa proses jangka panjang dalam sejarah yang berdasarkan pertentangan antara kekuatan-kekuatan produktif dan hubungan-hubungan produksi.

Di sisi lain, gerakan-gerakan konjektural diartikannya sebagai gerakan yang disengaja dan dimaui. Gerakan ini menyangkut usaha dan kampanye politis yang bisa menjadi tanda bahwa hegemoni yang mapan mulai ditentang.

Berdasar pembedaan kedua gerakan ini, Gramsci menyadari bahwa kaum buruh hanya dapat merebut kekuasaan, apabila ia sudah lebih dulu merebut hegemoni kultural, mengambil-alih pandangan dunia dan sistem nilai kelas buruh. Baginya, tak akan ada sistem masyarakat baru tanpa sebuah kebudayaan baru. Nilai-nilai dan harapan-harapan kelas buruh harus menjadi milik seluruh masyarakat dan menyingkirkan nilai-nilai dan harapan-harapan borjuasi.

Penerapan “Perang Posisi” di Hongkong

Peruntuhan hegemoni borjuasi bagi Gramsci juga dimengerti tidak hanya sebatas ide dan realisasi pengerahan massa, perang gerak atau revolusi pilitik, tetapi perlu juga keberadaan “perang posisi”.

Gerakan menyerang seperti pengerahan massa hanya akan berhasil apabila posisi pasukan sudah mantap. Memantapkan “posisi perang” juga sangat penting dalam sebuah perang, demikianlah Gramsci memberikan perbandingan. Hal ini berarti perebutan hegemoni kultural sama halnya dengan “perang posisi”. Dengan ini Gramsci sebenarnya mau mengiyakan bahwa hegemoni borjuasi dapat diruntuhkan.

Perumusan dan penanaman pandangan dunia dan sistem nilai bagi kaum buruh adalah tugas kaum intelektual. Dalam hal ini Gramsci sepakat bahwa kelas buruh harus melahirkan dan memunculkan kaum intelektualnya sendiri, bukan kaum intelektual dari luar kaum buruh.

Realisasi gagasan Gramsci bagi gerakan tuntutan hak-hak kaum buruh di Hongkong yaitu perlunya konsolidasi ke dalam dan memantapkan apa yang dinamakan oleh Gramsci dengan “perang posisi” sehingga tercipta solidaritas tinggi antar sesama buruh dan tidak hanya terjebak pada perang gerak, revolusi atau demonstrasi belaka. Solidaritas yang tinggi antar sesama buruh akan memunculkan dukungan penuh karena di dalamnya telah menjalar semangat kebersamaan, senasib dan sepenanggungan. Kekuatan yang demikian pada praksisnya tidak akan terpolarisasi karena kesalahpahaman sekecil apapun. Aksi turun ke jalan oleh sebagian kecil buruh di Hongkong akhir-akhir ini memang terkesan kurang solid dan terpecah-pecah kekuatannya.

Peningkatan kesadaran hak-hak buruh di Hongkong yang kini jumlah keseluruhan telah mencapai 100.000 orang perlu didahulukan sehingga nantinya muncul sebuah revolusi yang sungguh-sungguh revolusioner dan tidak sekadar gerakan pasang-surut yang diselingi kekebalan hati sesama buruh melihat sesamanya yang juga buruh dirampas hak-haknya. Sikap acuh dan tidak peduli terhadap nasib sesama buruh yang tertindas. Semangat solidaritas di antara kaum buruh perlu dikedepankan.

* Gendhotwukir, Penyair dan Jurnalis yang bedomisili di Lereng Gunung Merapi

1 komentar

belly wijaya mengatakan... @ 8 Oktober 2008 pukul 09.47

ternyata sudah jadi "hukum alam" kaum bourjouis selalu menindas "kaum proletar" walau ada perang posisi juga didalamnya...

Saya suka image korek api "suckerhead" berbanding lurus sama cerutu kuba, hehehe....

Salam indonesia jaya :)
(mohon ijin link ke blog ini ya?)

Posting Komentar